REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengaku Laba PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN memang turun dalam lima tahun terakhir. Namun, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka menjadi tugas manajemen untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menyediakan harga gas domestik yang terjangkau bagi industri maupun masyarakat.
Rachmat menjelaskan penurunan laba perusahaan yang terjadi dari 845 juta dolar pada 2013 menjadi sebesar 143 juta dolar di akhir tahun lalu. Hal ini kata Rachmat karena PGN tidak menaikkan harga pokok penjualan (HPP) gas ke pelanggan, meskipun harga beli gas domestik dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) terus naik.
Warga berjalan di belakang meteran jaringan gas Perusahaan Gas Negara (PGN) di Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Menteng, Bogor, Jawa Barat.
Beban HPP merupakan porsi terbesar dalam komponen pembentukan harga jual gas bumi, yakni sekitar 60 persen kontribusinya. "Namun, naiknya harga beli gas domestik dari produsen atau KKKS tidak diikuti dengan penyesuaian harga jual gas bumi ke pelanggan," kata Rachmat, Kamis (29/3).
Dikutip dari data PGN, HPP gas domestik mengalami kenaikan rata-rata sebesar 8 persen pada periode 2013 sampai 2017. Mulai dari 1,58 dolar per MMBTU menjadi 2,17 dolar per MMBTU.
Salah satu contoh harga beli gas yang melonjak sesuai instruksi regulator adalah harga gas dari Conocophilips untuk memenuhi kebutuhan industri di Batam, dari semula 2,6 dolar per MMBTU menjadi 3,5 dolar per MMBTU. PGN tetap membeli gas tersebut meskipun harus menanggung beban sebesar 7,5 juta dolar per tahun.
Sebagai catatan, PGN terakhir kali menyesuaikan harga jual gas bumi pada medio 2012-2013 lalu. Setelah itu, manajemen tidak menaikkan harga gas demi mendukung kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Beleid tersebut memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melarang perusahaan distributor gas menjual gas dengan harga lebih dari 6 dolar AS per MMBTU untuk enam sektor industri yang banyak menggunakan gas. Yaitu industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Pelanggan PGN memasak menggunakan gas bumi.
PGN mendukung instruksi Kementerian ESDM untuk menurunkan harga jual gas kepada pelanggan industri di Medan sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomo 434.K/2017. Aturan tersebut juga meminta PGN untuk bersedia menjual gas dari harga rata-rata sebelumnya 1,35 dolar per MMBTU menjadi 0,9 dolar per MMBTU, sehingga membuat perusahaan harus menanggung beban sebesar 3 juta dolar per tahun.
Selain itu, penugasan dari Kementerian ESDM untuk membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dan Jaringan Gas Rumah Tangga (Jargas) juga mengharuskan PGN menyediakan dana setidaknya 4,9 juta dolar AS per tahun. "Kami juga memberikan insentif harga kepada PT PLN (Persero) karena pemerintah ingin menurunkan biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN sehingga harga listrik ke masyarakat tidak naik. Ini kami jalankan sebagai bentuk sinergi BUMN yang diinginkan pemerintah," jelas Rachmat.
Rachmat memastikan manajemen PGN telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah laba perusahaan turun lebih dalam. Hal tersebut di antaranya dilakukan dengan menekan biaya operasional menjadi 457 juta dolar pada akhir 2017. Artinya dalam lima tahun terakhir, PGN berhasil menurunkan CAGR biaya operasional sebesar 3 persen dari 511 juta dolar pada 2013 lalu.
Manajemen juga berhasil menekan jumlah utang atau liabilitas jangka pendek maupun jangka panjang perusahaan. Sampai akhir 2017 lalu, liabilitas PGN tercatat sebesar 3,10 miliar dolar, berkurang signifikan dibandingkan posisi liabilitas 2016 sebesar 3,66 miliar dolar "Kami melakukan berbagai upaya efisiensi sehingga mampu mencetak laba di tengah kondisi perekonomian saat ini," kata Rachmat.