REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsultan Asian Development Institute Eric Sugandi menilai, pemerintah perlu mendorong porsi kepemilikan Surat Berharga Negara dari domestik. Ia mengaku, dominasi kepemilikan bisa berisiko pada stabilitas perekonomian Indonesia.
"Ketika ada gejolak eksternal, investor (asing) itu keluar dan bisa mengganggu nilai tukar rupiah," ujar Eric ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (23/3).
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan hingga akhir Februari 2018, utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.034,8 triliun. Secara lebih rinci, komposisi utang pemerintah terdiri atas pinjaman sebesar 777,54 triliun atau 19,27 persen dari total utang. Sementara, SBN mendominasi dengan nilai Rp 3.257,26 triliun atau 80,73 persen. Eric mengatakan, sebesar 40 persen SBN dimiliki oleh investor asing.
Menurut Eric, level kepemilikan asing dalam SBN tersebut tetap menyimpan risiko terutama jika terjadi guncangan eksternal. Salah satu risikonya adalah arus dana keluar meninggalkan Indonesia dan bisa memperlemah nilai tukar rupiah. "Kalau nilai tukar melemah, upaya pemerintah membayar utang dalam nilai rupiah akan menjadi lebih besar," ujar Eric.
Ia mengaku, berdasarkan data Asian Development Bank (ADB) Bonds, nilai kepemilikan asing pada obligasi pemerintah di Indonesia relatif tinggi jika dibandingan negara lain di Asia Tenggara. Menurutnya, porsi kepemilikan asing terhadap total obligasi pemerintah Malaysia adalah 30 persen pada akhir 2017. Sementara, porsi kepemilikan asing terhadap total obligasi pemerintah Thailand adalah 15 persen hingga akhir September 2017. Porsi kepemilikan asing terhadap total obligasi Cina bahkan hanya 3,5 persen karena menerapkan kebijakan capital control.
"Porsi asing ini berkurang bukan dengan dipaksa. Pemerintah bisa mendorong lembaga keuangan domestik seperti dana pensiun dan asuransi untuk masuk. Termasuk ritel juga perlu didorong," ujar Eric.
Eric menilai, posisi utang pemerintah yang berada pada level 29,24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman. Meski begitu, ia mengimbau pemerintah untuk tidak semakin cepat mengobral utang. "Saya rasa secara umum memang masih aman tapi diusahakan agar akselerasi utang baru tidak terlalu cepat," ujarnya.
Baca juga: Darmin: Perang Dagang AS-Cina Bisa Berdampak Positif