REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Raksasa-raksasa teknologi digital yang yang beroperasi di kawasan Uni Eropa (UE) seperti Alphabet Inc atau Twitter Inc akan dikenai pajak pendapatan bruto sebesar tiga persen.
Berdasarkan draf usulan yang diajukan Komisi Eropa yang dikutip Bloomberg pekan lalu, draf ini jelas memuat kenaikan pajak perusahaan digial seiring upaya UE untuk meningkatkan pendapatan mereka. Menurut UE, pelaku industri digital membayar pajak lebih rendah dari yang seharusnya. Negara-negara UE tengah mencari cara untuk menarik pajak dari perusahaan teknologi termasuk Amazon.com Inc dan Facebook Inc yang menyasar pengguna layanan mereka di kawasan itu.
Komisi Eropa berencana menarik pajak pendapatan yang direncanakan mulai berjalan pada 21 Maret mendatang. Rencana ini memang ditargetkan efektif dan menjadi solusi jangka pendek. Komisi Eropa juga tengah menyiapkan pendekatan jangka panjang yang lebih fokus.
Cakupan pajak ini akan menjangkau perusahaan teknologi yang menawarkan layanan iklan, kanal digital multisisi, kanal interaksi sosial, dan kanal layanan niaga barang dan jasa. Pengenaan pajak akan berlaku untuk perusahaan yang memiliki pendapatan tahunan global total lebih dari 750 juta euro (920 juta dolar AS atau Rp 12.650 miliar) dan perusahaan yang menawarkan jasa digital di kawasan UE dengan total pendapatan 50 juta euro (64 juta dolar AS atau Rp 880 miliar) per tahun. Parameter ini bisa berubah sampai proposal disahkan.
Besarnya pajak juga kemungkinan akan rata sebesar tiga persen di seluruh wilayah UE. Meskipun, usulan besar pajak yang diajukan adalah antara satu hingga lima persen.
Usulan pajak spesifik ini muncul setelah mekanisme pajak tradisional gagal menjaring pajak dari wajib pajak perusahan digital. Meski negara-negara UE menerima usulan perpajakan ini, mereka juga dibayangi kekhawatiran regulasi ini akan menghambat perkembangan penggunaan teknologi dan memicu migrasi konsumsi produk dari luar UE.
Menurut beberapa sumber, semua negara UE sepakat dengan aturan ini. Namun mereka merasa harus mendiskusikan hal ini di level global dan masukan dari Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Laporan OECD yang terbit pada 16 Maret lalu sendiri mengindikasikan belum adanya konsensus global terkait praktik terbaik pemajakan ekonomi digital.