Ahad 18 Mar 2018 16:47 WIB

Kiara: PP Impor Garam Tanda Negara yang Lebih Suka Impor

Pemerintah kian kehilangan komitmen melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Budi Raharjo
Suasana bongkar muat garam impor dari Kapal MV Golden Kiku ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (12/8). Sebanyak 27.500 ton garam impor dari Australia tersebut rencananya akan disebar ke sejumlah Industri Kecil Menengah di tiga wilayah yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat.
Foto: Zabur Karuru/Antara
Suasana bongkar muat garam impor dari Kapal MV Golden Kiku ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (12/8). Sebanyak 27.500 ton garam impor dari Australia tersebut rencananya akan disebar ke sejumlah Industri Kecil Menengah di tiga wilayah yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyayangkan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri tidak berpihak terhadap kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan petambak garam Indonesia. PP tersebut dinilai semakin mempermudah impor komoditas perikanan dan pergaraman yang selama ini hanya menguntungkan segelintir orang yakni pengimpor.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, dengan diterbitkannya PP tersebut pihaknya melihat pemerintah Jokowi-JK semakin kehilangan komitmen untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap komoditas perikanan dan pergaraman di Indonesia.

"PP ini semakin menunjukkan rupa negara yang lebih suka impor, ketimbang memperbaiki tata kelola garam Indonesia," ujar dia melalui siaran pers.

Menurutnya, substansi PP No. 9 Tahun 2018 sangat bertentangan dengan Undang-Undang No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal seperti, UU 7 Tahun 2016 yang menyatakan kewenangan pengendalian Impor komoditas perikanan dan pergaraman berada di bawah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sementara itu, di dalam PP 9 Tahun 2018, kewenangannya berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. "Hal ini jelas akan terus melanggengkan ego sektoral kementerian dalam urusan impor," katanya.

Kedua, UU 7 Tahun 2016 menetapkan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib impor garam dengan sangat jelas, yakni mengikuti ketentuan dan aturan yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sementara itu, PP 9 Tahun 2018 mengaburkan yang telah ditetapkan oleh UU tersebut.

"Apalagi di dalam PP itu tidak dibahas batasan waktu impor komoditas perikanan dan pergaraman. Ini kebijakan yang sangat berbahaya," tegas Susan.

Setelah mempertimbangkan dua hal utama tersebut, PP 9 Tahun 2018 ini harus segera dibatalkan karena bertentangan dengan UU 7 Tahun 2016 sekaligus berpotensi mematikan industri perikanan dan pergaraman rakyat di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement