Rabu 14 Mar 2018 14:59 WIB

Rupiah Tertekan, Bappenas: Kebijakan Fundamental Dibutuhkan

Kebijakan fundamental yang bisa dilakukan adalah memperkuat ekspor jasa.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Andi Nur Aminah
Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan pers terkait rapat paripurna di Istana Negara, Senin (2/12).
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan pers terkait rapat paripurna di Istana Negara, Senin (2/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, tren penguatan dolar AS tak bisa dihadapi hanya dengan operasi moneter ataupun intervensi. Dia mengatakan, untuk mengantisipasi pelemahan rupiah dalam jangka panjang, sangat diperlukan kebijakan yang lebih fundamental.

Bambang menjelaskan, kebijakan fundamental yang bisa dilakukan adalah memperkuat ekspor jasa sebagai sumber devisa. Pariwisata, dia mengatakan, termasuk kategori ekspor jasa yang bisa menghasilkan devisa dan memperkuat rupiah secara permanen. "Jadi jangan hanya berhenti pada ekspor barang, ekspor jasa juga tidak kalah penting karena ekspor jasa mempunyai efek berganda luar biasa, " kata Bambang, Rabu (14/3).

Dari sisi current account, penguatan rupiah secara lebih fundamental juga bisa dilakukan melalui capital account. Ada yang sifatnya hot money, portofolio, dan foreign direct investment (FDI).

Dalam jangka pendek, dia mengatakan, yang harus diperhatikan adalah portofolio karena langsung berdampak terhadap Surat Utang Negara (SUN), pasar modal dan ujungnya terhadap rupiah. Langkah lain yang perlu diperhatikan adalah dari komponen pertumbuhan seperti konsumsi. Sejauh ini konsumsi masih merupakan pendorong perekonomian yang dominan dengan kontribusi sebesar 54,3 perse terhadap PDB 2017. Karena porsinya yang signifkan pada PDB, maka perlambatan pada konsumsi memiliki dampak terhadap laju pertumbuhan ekonomi.

Namun, Bambang mengatakan, Indonesia juga harus waspada mengingat pertumbuhan konsumsi masih di bawah lima persen. Dalam standar global, capaian pertumbuhan konsumsi di bawah lima persen sebenarnya masih bagus. "Jadi kalau ada yang bilang ada pelemahan daya beli, ya tidak cocok karena konsumsinya tumbuh meski tumbuhnya tidak di atas lima persen," ujar Bambang.

Bambang mengatakan ada korelasi antara pertumbuhan konsumsi dengan komoditas. Saat terjadi commodity boom sekitar tahun 2013, pertumbuhan ekonomi mencapai 6 hingga 6,5 persen. Saat itu, konsumsi pernah tumbuh luar biasa di atas 5,2 persen hingga 5,3 persen. Tapi faktor itu hilang seiring dengan berakhirnya era harga komoditas tinggi. "Jadi kalau diperhatikan, kontribusi konsumsi yang besar dapat memengaruhi kemampuan kita untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi," kata Bambang.

Saat ini, Bambang mengatakan, memang ada perbaikan harga komoditas seperti CPO dan batu bara. Tetapi tidak setinggi ketika era commodity boom.

Oleh karena itu, kontribusi atau peran strategis konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi yang besar dapat diganti oleh investasi atau ekspor. Masalahnya, ekspor Indonesia masih sangat bergantung kepada sumber daya alam seperti batu bara dan CPO. Sementara investasi meski tahun lalu sudah ada tanda-tanda bangkit dengan capaian mendekati tujuh persen masih perlu lebih dioptimalkan lagi untuk bisa membuat ekonomi tumbuh lebih tinggi lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement