REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah telah membuat program untuk mengumpulkan anggaran dana perkebunan. Program ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan.
Dana yang dihimpun digunakan untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia Perkebunan, penelitian dan pengembangan perkebunan, promosi perkebunan, peremajaan perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana perkebunan. Selain itu, penggunaan dana ini juga bisa digunakan untuk kepentingan termasuk pengembangan Perkebunan, pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan hilirisasi industri Perkebunan.
Kepala Kelompok Tani Sawit Kabupaten Tanjab Barat, Jambi, Vinsen mengatakan bahwa melalui PP ini pemerintah memberi angin segar terkait dengan replanting (peremajaan) pohon sawit. Sayangnya, anggaran yang diberikan pemerintah terhadap para petani mandiri jauh dari harapan. Untuk satu hektare petani hanya mendapat anggaran Rp 25 juta.
Dana ini sangat jauh dengan kebutuhan dana replanting dalam satu hektare mencapai Rp 60 juta. "Jelas itu tidak mencukupi anggarannya. Terus kita diminta mengakses dana ke perbankan yang juga terlalu banyak mekanismenya," ujar Vinsen dalam aksi di depan Mahkamah Agung, Kamis (8/2).
Vinsen menjelaskan, perbankan hanya mau memberi tambahan anggaran sekitar Rp 35 juta jika petani mandiri memiliki jaminan. Kemudian bank-bank ini menunjuk perusahaan sawit sebagai penjamin.
Namun, persoalan tersebut justru semakin memberatkan petani mandiri karena dengan pinjaman dengan jaminan dari perusahaan sawit sekitar mengharuskan para petani memberikan seluruh pengolahan lahan sawit mereka ke perusahaan, mulai dari pembibitan, penanaman, pemupukan, hingga panen. Petani hanya diminta untuk berdiam diri dan menunggu bagi hasil dari uang produksi sawit.
"Kita dirusuh tanda tangan perjanjian tu. Petani nantinya hanya nonton. Kita diberi paling 25 persen dari bagi hasilnya. Ini tidak adil," ujar Vinsen.
Menurutnya, sejak PP 24/2015 diluncurkan, petani saat ini juga harus menanggung dana yang ditarik pemerintah. Sedikitnya dalam satu ton sawit yang dihasilkan mereka harus merogoh kocek hingga 50 dolar AS. Sayang, dengan pengeluaran tersebut nasib bantuan bagi petani justru nihil dirasakan.
Sedikitnya dana yang dikeluarkan pemerintah untuk replanting sawit petani mandiri, lanjut Vinsen, dikarenakan pemerintah juga mengalokasikan dana cukup besar sekitar 89 persen dari anggaran yang ditarik melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dana yang diambil dari perusahaan dan petani sawit ini nyatanya lebih banyak dimasukan untuk program pegembangan biodiesel semata. Sedangka replanting hanya kebagian sekitar satu persen saja.
Kekesalan ini juga diungkapan Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Iwan Himawan. Iwan menuturkan uang yang akan diberikan ke petani juga selama ini belum masuk dan masih berada di BPDP-KS. hal ini dikarenakan syarat untuk mengakses dana tersebut sangat banyak. Kemudian syarat lain petani harus menyiapkan dana pribadi sekitar Rp 35 juta, barulah petani bisa mengakses dana Rp 25 juta yang disiapkan.
"Ini dana barus bisa masuk ketika kita bikin rekening pribadi yang di dalamnya harus ada dana Rp 35 juta. Kan gila kalau begitu," ujarnya.
Petani di Kabupaten Paser saja saat ini ada yang menggarap lahan lebih dari satu hektare. Jika satu petani saja biasa menggarap dua hektare, maka sedikitnya dia harus punya dana simpanan mencapai Rp 70 juta. Uang itu bukan jumlah yang sedikit bagi para petani sawit.