Rabu 31 Jan 2018 17:37 WIB

Ekonom: Pemerintah tak Perlu Tabu Merevisi Harga Minyak

Harga minyak dunia saat ini menembus angka 70 dolar AS per barel.

Harga minyak mentah Indonesia (ICP). (ilustrasi).
Foto: Reuters
Harga minyak mentah Indonesia (ICP). (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Hendranata menilai pemerintah tidak perlu merasa 'tabu' untuk merevisi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN 2018. Terlebih lagi harga minyak mentah dunia saat ini sudah menembus angka 70 dolar AS per barel.

"Kan ada kesempatan, kalau agak jauh dari asumsi ada APBN-P. Kalau memang harga minyak jauh dari asumsi APBN, kan harus realistis juga. Tidak tabu revisi itu karena kaitannya asumsi situasinya dinamis apalagi harga minyak tidak mudah diprediksi. Bukan tidak kredibel, kalau harus diubah ya diubah," ujar Anton di Jakarta, Rabu (31/1).

photo
Ladang migas

 

Dalam APBN 2018, asumsi harga minyak mentah Indonesia yaitu 48 dolar AS per barel, sama dengan asumsi dalam APBN-P 2017 walaupun realisasinya harga ICP 51,2 dolar AS per barel pada tahun lalu.

Pemerintah sendiri sebelumnya menyatakan akan berupaya APBN 2018 bisa dijalankan sesuai dengan target yang telah ditetapkan sehingga tidak memerlukan revisi melalui APBN-P.

Anton memprediksi harga ICP sepanjang tahun ini akan mencapai 60-65 dolar AS per barel. Menurut dia, kenaikan harga minyak merupakan hal yang wajar mengingat perekonomian global juga mulai meningkat.

"Kalau harga minyak naik, tidak ada masalah di APBN karena hitungannya akan surplus. Tapi masalahnya adalah kalau harga minyak bertengger di 60-65 dolar AS per barel, harga bensin akan naik atau tidak. Kalau bensin tidak naik, ada yang harus menanggungnya," kata Anton.

Menurut Anton, pada 2018 ini menjadi tantangan bagi pemerintah apakah akan menaikkan harga BBM atau tidak sebagai dampak dari meningkatnya harga minyak mentah dunia. Sebelumnya, pemerintah sempat 'beruntung' ketika mencabut subsidi BBM dimana saat itu harga minyak mentah dunia juga menurun.

"Yang dikhawatirkan itu kan bukan harga BBM-nya naik sebenarnya, tapi 'second round effect' dari naiknya harga BBM tersebut misalnya harga transportasi dan makanan jadi ikut naik," kata Anton.

Ia menambahkan pemerintah harus bisa mengantisipasi dampak meningkatnya inflasi apabila harga BBM benar-benar dinaikkan karena inflasi sangat memengaruhi ekonomi terutama masyarakat kelas bawah.

"Kalau di-'adjust' mendekati harga keekonomian misalnya Rp500, maka akan ada tambahan inflasi 0,7 persen sehingga inflasi sepanjang 2018 bisa mencapai 4,3 - 4,5 persen. Inflasi ini sangat sensitif untuk orang level bawah. Mereka akan langsung teriak dan itu sangat riskan dengan situasi politik yang ada saat ini," ujar Anton.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement