Selasa 23 Jan 2018 08:40 WIB

Pelanggaran Truk Overload Cenderung Meningkat

Pendekatan batas kecepatan bisa digunakan untuk menangkal pelanggaran muatan lebih

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Budi Raharjo
Sejumlah truk pengangkut kebutuhan pokok dan logistik penting yang akan menyeberang ke Pulau Sumatra antre di Dermaga III Pelabuhan Merak, Banten. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Sejumlah truk pengangkut kebutuhan pokok dan logistik penting yang akan menyeberang ke Pulau Sumatra antre di Dermaga III Pelabuhan Merak, Banten. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan pendekatan batas kecepatan bisa digunakan untuk menangkal pelanggaran muatan lebih. Pelanggaran muatan berlebih yang dibawa truk barang sendiri akhir-akhir ini cenderung bertambah walaupun proses penataan jembatan timbang mulai dibenahi sejak awal 2017.

"Hasil pemeriksaan kendaraan barang antara bulan September hingga November 2017 mencatat dari 411.000 kendaraan, hanya 119.637 kendaraan atau 29 persen yang masuk UPPKB, sementara sisanya tidak masuk UPPKB. Dari yang masuk itu, yang melanggar ada 95.510 kendaraan," ujar Djoko dalam keterangan tertulis yang didapat Republika, Selasa (23/1).

Pelanggaran yang dilakukan sendiri terdiri dari kelebihan daya angkut sebanyak 38,2 persen, dimensi 23 persen, dokumen 22 persen, tata cara muat 4 persen, dan persyaratan teknis 12,7 persen.

Sementara itu Pemerintah sendiri sudah memiliki Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan. Aturan ini dirasa Djoko dapat digunakan untuk menangkal pelanggaran muatan lebih yang terjadi di jalan dengan bekerjasama dengan pihak Kepolisian.

Setiap jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional. Batas kecepatan dapat dilakukan untuk jalan bebas hambatan, jalan antar kota, jalan pada kawasan perkotaan dan jalan pada kawasan permukiman. Untuk jalan bebas hambatan ditetapkan batas kecepatan paling rendah.

Dalam Pasal 3 ayat 4 PM 111/2015 ditetapkan batas kecepatan paling rendah adalah 60 km/jam dalam kondisi arus bebas dan paling tinggi 100 km/jam untuk jalan bebas hambatan, paling tinggi 80 km/jam untuk jalan antarkota, paling tinggi 50 km/jam untuk kawasan perkotaan dan paling tinggi 30 km/jam untuk kawasan permukiman. Batas kecepatan paling tinggi dan batas kecepatan paling rendah ini harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas.

Jalan bebas hambatan adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagat ruang milik jalan. Jalan bebas hambatan merupakan jalan nasional yang terdiri dari jalan arteri primer dan jalan kolektor primer.

Dengan diterapkan aturan ini, Unit Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) tidak perlu menyediakan gudang karena harus menurunkan barang. Dengan sendirinya pengusaha truk akan menyesuaikan besar muatan yang diangkut dengan laju kendaraan di jalan raya. Di sisi lain secara perlahan akan ada peremajaan truk sehingga dapat menggairahkan industri truk secara nasional.

"Juga nantinya akan ada upaya mengalihkan angkutan barang ke moda KA dan Kapal RoRo dapat terealisir. Tentunya dengan beberapa pembenahan operasional dan ongkos angkut menggunakan KA dan Kapal RoRo," lanjutnya.

Usia truk yang sudah tidak laik jalan dengan adanya penerapan aturan tersebut perlahan akan berkurang dan hilang. Jika dilihat di jalan raya rata-rata laju truk membawa muatan sekitar 40 km/jam dan kendaraan barang yang digunakan bukan kendaraan barang produksi teranyar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement