Jumat 05 Jan 2018 20:17 WIB

Harga Komoditas Sokong Penerimaan Pajak 2017

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Nidia Zuraya
Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute (TRI) Wahyu Nuryanto menilai, pertumbuhan penerimaan pajak pada 2017 didukung oleh faktor kenaikan harga komoditas. Seperti diketahui, penerimaan pajak 2017 mencapai Rp 1.151 triliun atau tumbuh 4,08 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

"Harus diakui ada perbaikan kinerja penerimaan, tapi pertumbuhan penerimaan pajak 2017 lebih besar karena faktor kenaikan harga komoditas terutama minyak dan gas," ujar Wahyu dalam siaran pers yang diterima Republika, Jumat (5/1).

Ia menjelaskan, hal itu terlihat dari setoran Pajak Penghasilan (PPh) migas yang melampaui target. Penerimaan PPh Migas adalah sebesar Rp 49,96 triliun atau mencapai 119,6 persen dari target. Capaian itu meningkat 38,4 persen dibandingkan penerimaan PPh Migas 2016. Hal itu selaras dengan kenaikan harga minyak dunia yang menembus 50 dolar AS per barel.

Secara sektoral, sumbangan pajak sektor pertambangan dan pertanian juga tumbuh signifikan masing-masing sebesar 39,3 persen dan 27,6 persen dibandingkan 2016.

Meski begitu, Wahyu menyoroti penurunan penerimaan PPh Non Migas pada 2017. Penerimaan PPh Non Migas adalah sebesar Rp 596,89 triliun atau mencapai 80,42 persen dari target. Capaian itu menurun 5,27 persen dibandingkan penerimaan tahun sebelumnya.

Menurut Wahyu, penyebab utama catatan negatif PPh Non Migas adalah setoran PPh final yang turun 9,46 persen. Ia mengatakan, sasaran PPh final adalah sektor properti, perdagangan saham dan obligasi, serta pendapatan UMKM. Tiga sektor tersebut, kata Wahyu, adalah sasaran utama dari program Amnesti Pajak.

"Asumsinya, jika amnesti pajak berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP), maka idealnya ada setoran yang cukup besar dari ketiga sektor itu dan yang terjadi sebaliknya," ujar Wahyu.

Wahyu mengatakan, Indonesia harus menggunakan kesempatan untuk melakukan reformasi pajak besar-besaran pada 2018. Hal ini mengingat revisi paket undang-undang perpajakan masih berjalan di DPR. "Bukan soal penurunan tarif, tetapi yang lebih penting mempertegas dan memperluas cakupan perpajakan terutama pajak digital," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement