REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia belum dapat mewujudkan kedaulatan pangan 100 persen. Beberapa komoditas untuk kebutuhan dalam negeri masih berasal dari keran impor.
Ketua Departemen Luar Negeri Badan Pelaksana Pusat (BPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Zainal Arifin Fuad mengatakan, impor tersebut terjadi bukan hanya karena Kementerian Pertanian gagal menjamin produksi pertanian lokal meningkat. Akan tatpi, menurut dia, juga dampak dari kebijakan pemerintah masih bertahan menjadi anggota World Trade Organization (WTO).
"Pemerintah harus mengoreksi kebijakan WTO atau bahkan keluar dari keanggotaan WTO," katanya, Rabu (27/12).
Pasar bebas mengharuskan suatu negara tidak boleh menerapkan kebijakan proteksi terhadap barang yang diimpor. Proteksi tersebut biasanya diterapkan melalui adanya bea masuk, pajak, keamanan pangan dan lain sebagainya. Namun, karena Indonesia telah menjadi anggota WTO, maka otomatis semua halangan tersebut ditiadakan.
"Ini membuat negara banjir impor. Hal ini jelas akan mengakibatkan harga di petani anjlok yang berdampak pada kemiskinan," ujar dia.
WTO merupakan organisasi perdagangan dunia yang hanya membicarakan berbagai kepentingan negara maju, salah satunya melalui kesepakatan Agreement on Agriculture (AoA). Petani menjadi pihak yang paling dirugikan karena memiliki sumber kapital yang minim. Perannya tergantikan dan tergerus oleh korporasi-korporasi yang memiliki sumber kapital besar, yang perlahan-lahan membentuk skema monopoli.
Ia menambahkan, salah satu dampak buruk WTO terhadap Indonesia yang baru saja terjadi pada 22 Desember 2016 yaitu WTO telah memenangkan gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru terkait kebijakan perlindungan Indonesia atas produk hortikultura, hewan, dan produk-produknya. Kekalahan dalam kasus gugatan ini akan memengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
"Dapat disimpulkan, keberadaaan WTO hanya semakin memperkokoh struktur penindasan terhadap petani dan nelayan Indonesia," tegas dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras pada Januari-November 2017 mencapai lebih dari 256 ribu ton, 495 juta ton jagung dan 10 juta ton gandum. Sementara berdasarkan data yang dimiliki SPI, impor bawang putih pada Januari hingga September 2017 mencapai 359 ribu ton, 31 ribu ton untuk cabai dan 75 ribu ton daging.
Menurutnya, selama 2017 harga pangan juga cenderung naik dan kerap menjadi pemicu utama terjadinya inflasi terutama gabah dan beras. Target penyerapan Bulog pada 2017 yakni sebesar 3,2 juta ton. Sementara sampai 20 Desember 2017, pengadaan Bulog baru mencapai 2,15 juta ton. Ia pun menduga sampai akhir tahun ini, Bulog tidak dapat mencapai target yang ditentukan.
Menurutnya, hal ini karena Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras yang megacu pada Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2015 sudah tidak relevan diterapkan. Dalam Inpres Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 3.700 per kg, Gabah Kering Giling (GKG) sebesar Rp 4.600 per kg dan Beras sebesar Rp 7.300 per kg.
"Sementara harga di lapangan sudah jauh lebih tinggi dari yang telah ditetapkan," ujar dia.