REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (Maskeei) mengadakan Munas II di Jakarta pada hari ini (6/12). Sejumlah acara meramaikan Munas itu di antaranya diskusi panel tentang Strategi dan Rencana Aksi Nasional Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).
Tujuan #7 tentang energi bersih terjangkau dan berkelanjutan, khususnya membahas peranan upaya konservasi dan efisiensi energi di sektor industri, gedung dan mobilitas. Ketua Umum Maskeei periode 2014-2017 RM Soedjono Respati mengatakan salah satu tujuan yang sangat krusial TPB (tujuan ke 7) adalah untuk menjamin ketersediaan energi bersih dan berkelanjutan, serta terjangkau bagi seluruh warga dunia.
Energi bersih dan berkelanjutan terdiri dari energi terbarukan, ditambah dengan hasil upaya efisiensi dan konservasi energi tidak terbarukan. Yang disebut terakhir ini merupakan upaya masif yang harus dilakukan di semua sektor ekonomi, termasuk sektor konsumen pemakai energi final," ujar Soedjono.
Diskusi di antaranya diikuti oleh Dirjen EBTKE, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rida Mulyana; Dirjen Industri Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronik Kementerian Perindustrian, Harjanto; dan Kepala Balitbang Kementerian Perhubungan Umiyatun Astuti.
Soedjono mengatakan dengan efesiensi energi melalui penerapan teknologi modern maupun perubahan perilaku pemanfaatan energi, maka akan dicapai pengurangan jumlah konsumsi energi. Hal ini tanpa harus mengalami penurunan manfaat dari pemakaian energi dengan tujuan produktif maupun konsumtif.
Indonesia selama puluhan tahun pembangunan selalu fokus untuk memenuhi pasokan energi dengan menambah kapasitas produksi energi primer dan pembangkitan tenaga listrik nasional (sisi supply). "Tetapi kurang memperhitungkan faktor pemborosan energi di sisi pemanfaatannya (demand side)," kata dia.
Ditambah dengan adanya subsidi energi yang terus membengkak selama berpuluh tahun di masa lalu. Masyarakat pemakai energi, kata Soedjono, sulit untuk disadarkan akan pentingnya penghematan energi. Disamping itu kebijakan penghematan energi sering disalah-artikan oleh kalangan menengah ke bawah dari pemakai energi, seolah-olah harus mengorbankan kenyamanan hidup mereka, karena tingkat pemakaian energi yang dinikmatinya masih rendah.