REPUBLIKA.CO.ID, LAHOMI -- Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Hendry Ahmad mengungkapkan pihaknya sedang mengkaji rencana untuk membuka unit penyalur BBM skala mini di daerah pelosok. Ini berkaitan dengan program BBM satu harga yang tengah digarap pemerintah.
"Penyalur mini ini adalah penyalur yang kapasitasnya tidak besar, cukup mampu dikembangkan masyarakat, dan legal. Memenuhi standar teknis dan keamanan," katanya seusai menghadiri acara peresmian SPBU Kompak di Desa Onolimbu, Lahomi, Nias Barat, Sabtu (2/12).
SPBU Kompak merupakan lembaga penyalur BBM satu harga pertama di kabupaten tersebut. Dengan hadirnya SPBU Kompak, ia berharap masyarakat di Kabupaten Nias Barat dapat terbantu dan tersokong kegiatannya, termasuk aktivitas perekonomiannya. Di sisi lain, ia juga berharap kehadiran SPBU di sana dapat mengikis praktik pengeceran BBM oleh penduduk.
Menurutnya, praktik pengeceran seperti yang jamak terjadi di daerah terpelosok memiliki dampak yang merugikan. Pertama, kata dia, dari aspek keamanan. "Pengecer ini sudah banyak sekali menimbulkan kasus kebakaran karena tidak memenuhi standar keamanan. Apalagi soal teknisnya," kata Hendry ketika diwawancarai awak media seusai acara peresmian SPBU Kompak.
"Kemudian siapa yang jamin ukurannya (takaran) benar. Ketiga, misalnya, ada kualitas tak terjamin, siapa yang bertanggung jawab?"
Oleh karena itu, selain lembaga penyalur, BPH Migas, ujar Hendry, tengah mengkaji kemungkinan model distribusi lain. Misalnya, melalui penyalur mini. Ia mengungkapkan penyalur mini berbeda dengan SPBU.
Selain itu, harganya pun tentu tidak akan membebankan masyarakat. Harganya sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah sehingga legal. Otomatis, kata dia, harganya pasti akan lebih murah.
Kendati demikian, bila model penyalur mini ini belum bisa diterapkan, ia tak mempersoalkan jika ada agen pengecer di lokasi yang memang belum terjangkau SPBU. Namun untuk menjual BBM-nya ke pengecer, SPBU terkait perlu mendapatkan izin atau rekomendasi dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
"Itu juga harus mempertimbangkan beberapa aspek agar tidak diselewengkan. Tapi ketentuan dari kami, harus ada rekomendasi dari SKPD," ujarnya.
Ia menilai hal ini memang perlu dipikirkan. Karena, kata dia, BBM seperti ini hak rakyat. "Masa nelayan harus beli lebih mahal dibandingkan masyarakat kota, ini kan aneh ya," ujar dia.