REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingkat kesehatan aset perbankan yang tecermin dari rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) gross mengalami peningkatan pada Oktober 2017 menjadi 2,96 persen dibandingkan posisi September 2017 yang sebesar 2,93 persen. Jika diperinci, NPL di sektor pertambangan tercatat yang paling tinggi, yakni mencapai 8,14 persen.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), secara sektor panyaluran, NPL sektor pertambangan tercatat sebesar 8,14 persen, disusul sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi sebesar 4,45 persen, sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 4,38 persen, sektor konstruksi 3,54 persen, sektor industri pengolahan 3,27 persen, sektor total rumah tangga 1,84 persen, serta paling rendah dari sektor pertanian, perburuan dan perhutanan sebesar 1,80 persen.
Deputi Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi OJK, Imansyah, mengatakan rasio NPL berasal dari total NPL dibagi total kredit. Dia mengklaim sebenarnya trennya turun dari 3 persen pada Agustus 2017 menjadi 2,93 persen pada September dan 2,96 persen pada Oktober 2017.
"NPL gross yang masih cukup tinggi sektor pertambangan. Kita berharap mulai berkurang, kalau sektor yang lain trennya relatif turun," kata Imansyah dalam acara diskusi di Kantor OJK, Jakarta, Jumat (24/11).
Karenanya, dia berharap kondisi bisnis perusahaan-perusahaan sektor pertambangan cepat pulih. "NPL bisa turun kalau harga komoditas naik dan perusahaan-perusahaan pertambangan siap beroperasi," imbuhnya.
Selain itu, menurutnya kenaikan NPL juga dipengaruhi oleh penyaluran kredit yang pertumbuhannya belum pesat. Hingga Oktober 2017 penyaluran kredit perbankan tercatat tumbuh 8,18 persen (yoy). "Kalau kredit nambah signifikan bisa saja NPL-nya turun," ujarnya.
Meski demikian, Imansyah menyatakan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) perbankan masih cukup tinggi. "Kita berharap dalam konteks risikonya sudah dikaver oleh cadangan yang dibuat perbankan," ucapnya.