Rabu 25 Oct 2017 15:55 WIB

Cukai Naik 10 Persen Dianggap tak Turunkan Konsumsi Rokok

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Nur Aini
Kenaikan cukai rokok, ilustrasi
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Kenaikan cukai rokok, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan cukai sebesar 10,04 persen yang akan berlaku mulai 2018 mendatang dianggap tak cukup kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia.

Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menjelaskan, ketika cukai naik 10,04 persen, harga jual rokok tidak otomatis naik dengan besaran yang sama. Terlebih, untuk rokok yang diproduksi produsen besar. Sebab, mereka mampu memberikan subsidi harga demi mendorong agar konsumsi rokok tetap tinggi.

Abdillah juga menegaskan bahwa tujuan pengenaan cukai rokok adalah untuk mengendalikan konsumsi. Namun, ia memperkirakan, kenaikan tarif cukai jika diterjemahkan hanya akan sebesar Rp 8-50 per batang rokok. Artinya, kenaikan tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan yang diinginkan. "Kalau hanya naik segitu, apakah konsumsi akan menurun? Kan tidak," ujarnya, dalam sebuah forum diskusi di Jakarta, Rabu (25/10).

Dalam 10 tahun terakhir, industri rokok tercatat berhasil meningkatkan produksinya. Pada 2005, produksi rokok secara nasional tercatat sebanyak 222 miliar batang. Pada 2015, angka itu meningkat menjadi 348 miliar batang rokok. Artinya, setiap tahun ada kenaikan produksi 12 miliar batang rokok.

Merujuk pada data tersebut, Abdillah memandang, pemerintah harus menegaskan fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi rokok dengan menaikkan tarif setinggi mungkin. Memang, kata dia, sebagai konsekuensinya pendapatan negara bisa menurun. Namun, di sisi lain, BPJS akan semakin kuat karena saat ini penyakit yang disebabkan oleh rokok menyumbang kontribusi sebanyak 40 persen.

Menurut Abdillah, pemerintah sebenarnya bisa menambah pendapatan negara dengan cara melakukan ekstensifikasi barang kena cukai, misalnya untuk produk plastik dan BBM. Cara ini dapat ditempuh untuk mensubstitusi turunnya penerimaan negara dari rokok. "Dengan adanya barang lain yang kena cukai, maka tarif cukai rokok bisa dinaikkan semaksimal mungkin."

Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Kantor Staf Presiden Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Sosial, Budaya dan Ekologi Strategis, Aditya Syarief mengatakan, pihaknya sudah meminta Kementerian Kesehatan untuk melakukan survei prevalensi rokok setiap tahun. Hal ini penting karena hasil survei tersebut akan menjadi landasan pemerintah dalam menentukan besaran kenaikan cukai yang lebih proporsional. Sebab, saat ini survei prevalensi rokok hanya dilakukan setiap tiga tahun sekali. "Jadi kami tengah mendorong agar Kementerian Kesehatan bisa lebih banyak terlibat dalam menentukan besaran kenaikan cukai tersebut,"kata Aditya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement