REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mendorong Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) melakukan penyesuaian terhadap aktivitas bisnis tembakau dan mengkaji ulang penerapan tarif cukai pada industri produk tembakau secara moderat. Hal itu agar penerimaan negara dapat semakin optimal.
Menurut Misbakhun, kebijakan tarif cukai hasil tembakau jangan sampai eksesif sehingga industri hasil tembakau tidak mengalami kontraksi. Ia mencontohkan kondisi pabrik rokok Gudang Garam yang dikunjungi Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu.
“Selama ini kita berpihak ke Sigaret Kretek Tangan (SKT). Tetapi sekelas Gudang Garam, untuk golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM I), mengalami kontraksi yang luar biasa. Nah, kontraksinya luar biasa, produksinya menurun, tetapi di pasar tembakau ini habis,” ungkap Misbakhun dalam rapat kerja Komisi XI DPR bersama DJBC di Gedung Parlemen, Senayan, dikutip Kamis (8/5/2025).
Misbakhun mengaku belum mengetahui penyebab pasti kondisi tersebut. Ia menduga, kemungkinan ada peningkatan impor tembakau, sehingga jika pasokan tembakau dalam negeri habis, maka impor juga ikut naik.
Menurut Misbakhun, kondisi yang dialami Gudang Garam perlu dianalisis dan ditentukan exit strategy-nya. Jika hal serupa juga dialami pabrik rokok lain, maka sistem tarif cukai yang selama ini menggunakan model tunggal berupa kenaikan tarif, khususnya pada golongan SKM I, harus dikaji ulang.
“Kalau ini dialami oleh pabrik rokok lainnya, berarti sistem tarif cukai yang selama ini selalu menggunakan model tunggal, yaitu kenaikan tarif dan selalu dikenakan pada golongan SKM I, maka kita harus mengkaji ulang. Karena itu eksesif dari sisi produksi dan berdampak pada penerimaan cukai kita,” terang politikus Partai Golkar itu.
Terpisah, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) secara prinsip mendukung dirumuskannya peta jalan (roadmap) kebijakan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok untuk periode 2026–2029.
Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, menyampaikan agar peta jalan kebijakan ini efektif dan efisien serta menciptakan iklim usaha yang kondusif, GAPPRI meminta dua hal.
Pertama, selama 2026–2029, industri hasil tembakau (IHT) diberi waktu pemulihan, terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal-usul dan produsennya. Caranya, dengan tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan HJE.
“Kemudian, pada 2029, saat daya beli membaik, barulah dinaikkan sesuai kondisi pertumbuhan ekonomi atau inflasi,” ujar Henry Najoan.
Kedua, pentingnya melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) agar tercipta keseimbangan yang inklusif dan berkeadilan antara aspek kesehatan, tenaga kerja IHT, petani tembakau dan cengkeh, peredaran rokok ilegal, serta penerimaan negara melalui peta jalan industri hasil tembakau 2026–2029.
“Kami berharap hasil perumusan peta jalan ini menjadi solusi bagi pengamanan pendapatan negara dari sektor CHT, kelangsungan lapangan pekerjaan, efek ganda, nilai tambah, serta pengamanan investasi,” tutur Henry Najoan.