REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri nasional masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi pada bahan baku impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), komposisi impor bahan baku dan bahan penolong selama periode Januari-September 2017 mencapai 75,35 persen atau senilai 84,76 miliar dolar AS. Angka itu meningkat 15,21 persen dibanding periode sebelumnya yang hanya 73,57 miliar dolar AS.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, sebagian industri memang masih memiliki ketergantungan pada bahan baku impor. Ia mengambil contoh industri makanan dan minuman yang mengandalkan gandum impor dari Australia.
Dalam hal ini, kata Airlangga, posisi Australia memang sebagai pendukung bahan baku untuk industri di Indonesia. Tetapi, nilai tambah mulai dari konsep dan desain produk, produk jadi, penjualan, distribusi, sampai produk daur ulang berada di Indonesia. Sehingga, Airlangga menilai, impor bahan baku bukan masalah selama nilai tambah dari seluruh industri pendukung lainnya berada di dalam negeri.
"Filosofinya adalah nilai tambah. Jadi, bahan baku itu bisa dari dalam negeri, bisa dari luar negeri," ujarnya, saat memaparkan kinerja Kementerian Perindustrian selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, Senin (23/10).
Airlangga memaparkan, persentase Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di setiap sektor industri memang berbeda-beda. Industri dengan TKDN yang sudah tinggi salah satunya adalah industri otomotif yang telah menggunakan kandungan lokal sebanyak 80 persen. Sementara, industri dengan TKDN yang masih rendah di antaranya industri migas dan farmasi yang masih di bawah 30 persen.
Ke depan, Airlangga menyebut, Kemenperin akan menggandeng lembaga survei independen untuk memverifikasi tingkat kandungan lokal di setiap industri.