REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri syariah dituntut untuk bisa menjawab tantangan ekonomi agar manfaat kehadirannya bisa dirasakan masyarakat.
Tantangan tersebut diungkapkan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso saat memberikan keynote speech dalam acara Rembuk Republik bertema Industri Syariah dan Pemerataan Perekonomian di Wisma Antara, Jakarta, Kamis (5/10).
Rembuk Republik yang merupakan acara yang digelar Republika, kali ini menghadirkan tiga narasumber di antaranya, Plt Direktur Utama BNI Syariah Abdullah Firman Wibowo, Plt Deputi Komusioner Pengawas IKNB II OJK Moch Ihsanuddin, dan Pengamat Ekonomi Syariah Adiwarman Karim.
Wimboh mengungkapkan saat ini industri syariah sangat penting karena setelah berjalan belasan tahun sudah banyak pengalaman yang dipetik. "Syariah tidak bisa hanya sekadar melakukan proses aktivitas produk maupun jasa syariah tapi harus bisa menjawab tantangan ekonomi kita supaya masyarakat bisa mendapat manfaat dari kehadirannya," kata Wimboh.
Tantangan tersebut antara lain melemahnya perekonomian dunia dan turunnya harga komoditas. Hal itu mempengaruhi sektor pertambangan yang berpengaruh pada kredit macet (NPL) industri perbankan. Namun, sektor usaha kecil justru tahan terhadap guncangan tersebut. Sementara bisnis komersial perbankan yang nasabahnya sektor menengah justru terkena dampaknya. Karenanya, OJK mendorong agar industri keuangan syariah masuk ke segmen usaha kecil yang tahan terhadap goncangan ekonomi.
"Ke depan bagaimana mengembangkan syariah ini, tidak bisa dengan produk murah. Tapi kita harus mempunyai satu program yang sangat integrated dan sustain ke depan," ujarnya.
Di industri perbankan syariah saat ini tercatat 13 bank umum syariah, 21 unit usaha syariah (UUS), dan 167 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Total aset dari perbankan syariah mencapai Rp 380 triliun. Sedangkan total aset industri keuangan nonbank (IKNB) syariah mencapai Rp 99,15 triliun.
Wimboh menambahkan, OJK memiliki fokus mendorong pembiayaan menengah jangka panjang serta membantu masyarakat kecil. Nantinya, di kantong-kantong daerah akan didorong masuk program dengan platform syariah untuk membantu masyarakat kecil. "Bagaimana syariah menjadi tulang punggung Indonesia itu tantangan kita," ujarnya.
Plt Dirut BNIS Abdullah Firman Wibowo mengatakan, perbankan syariah di Indonesia tetap tumbuh tapi perlahan. Pangsa pasar keuangan syariah berhasil mencapai 5,3 persen pada 2016 karena konversi Bank Aceh. "Sulit mengandalkan pertumbuhan organik, tidak signifikan. Kecuali langkah anorganik seperti mitra strategis, IPO, atau konversi. Maka wajar kalau kontribusinya belum signifikan," ucap Firman.
Karenanya, Firman mendorong produk perbankan syariah harus lebih variatif seperti produk konvensional. Namun, dia melihat pada kurun 2010-2017 produk-produk keuangan syariah sudah mulai maju.
Firman melihat tantangan industri keuangan syariah ke depan terkait tingkat pemerataan. Akses perbankan di Jawa mencapai 52 persen, Sumatra 22 persen, dan Indonesia Timur 10 persen. Artinya akses finansial di Jawa dan Sumatra lebih dari 75 persen. "Banyak yang belum masuk ke sana. Pada 2010 perbankan syariah sempat tumbuh cepat, tapi masih kecil dan tersebar," ujar Firman.
Padahal, peluang industri syariah di Indonesia sangat besar yakni antara lain adanya 350 universitas Islam, 100 ribu pondok pesantren, 150 rumah sakit Islam, Rp 217 triliun dana zakat, Rp 7 triliun dana wakaf, Rp 80 triliun dana haji serta Rp 200 triliun dari sektor wisata halal.
Plt Deputi Komusioner Pengawas IKNB II OJK Moch Ihsanuddin menyatakan industri keuangan syariah perlu pengembangan produk seperti konvensional, yang menyasar segmen mikro, pertanian, serta dana pensiun. "Sehingga jika konvensional ke sana, syariah juga bisa masuk ke sana. Inisiasi baru baik pemerintah atau industri, kami berusaha syariah juga ikut sejak awal sehingga tidak selalu tertinggal," kata Ihsanuddin.