Rabu 26 Jul 2017 09:58 WIB

Kambing Hitam Itu Bernama Utang Warisan

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ilham Tirta
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Marwan Cik Asan menilai, pemerintah saat ini seolah sedang mencari kambing hitam terkait utang pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemerintah menganggap utang tersebut membengkak karena warisan.

"Ini lebih terlihat sebagai penggiringin opini. Seolah-olah utang pemerintah Jokowi membengkak karena warisan. Kalau mau cari kambing hitam silakan saja, tapi mari kita cek data perkebangan utang pemerintah," kata Marwan dalam keterangan pers yang diterima Republika, Selasa (25/7).

Marwan membandingkan hal tersebut dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut dia, pemerintahan SBY juga mewarisi akumulasi utang pemerintah sebelumnya, yaitu Rp 1.298 triliun. Tapi, kata dia, hutang selama 10 tahun pemerintahan SBY sebesar Rp 1.130 triliun. Dengan rasio utang rata-rata terhadap produk domestik bruto (PDB) 25 persen dan pertumbuhan ekonomi rata-rata enam persen.

"Itu faktanya empirisnya. Saya bicara data, 10 tahun pemerintahan Pak SBY," ungkap dia.

Ia menambahkan, pada masa pemerintahan Jokowi, hingga saat ini utang warisannya sebesar Rp 2.608 triliun. Sementara itu, utangnya sendiri dalam kurun waktu tersebut sebesar Ro 1.097 triliun dengan rasio utang rata-rata terhadap PDB 27,6 persen.

"Silakan bandingkan dan ingat, pertumbuhan ekonomi sekarang itu 4,9 persen," kata Marwan.

Terkait soal warisan utang ini, Marwan menjelaskan kembali, pemerintahan SBY juga mewarisi dari pemerintahan sebelumnya. Pada awal pemerintahan, SBY mewarisi utang pemerintah sebelumnya dengan rasio utang terhadap PDB 56,5 persen. Namun, angka tersebut turun menjadi 28,3 persen di tahun 2009 dengan utang yang dihimpun sebesar RP 292,7 triliun.

"Dengan jumlah utang tersebut, pemerintah dapat mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,7 persen. Pada tahun 2006 pemerintahan SBY berhasil melunasi utang pada IMF sebesar USD 9,1 miliar. Setara dengan Rp 117 triliun, atau empat tahun lebih cepat dari jadwal yang ada," kata dia.

Selanjutnya, total utang yang dihimpun pemerintahan SBY selama 10 tahun itu terdiri dari Rp 292,7 triliun pada periode pertama dan Rp 1.018,1 triliun pada periode kedua. Menurut Marwan, utang sebesar itu digunakan oleh SBY untuk melakukan pembangunan dengan menciptakan pertumbuhan pada kisaran 6 persen ekonomi.

Pembangunan tersebut berdampak pada kesejahteran masyarakat dengan peningkatan pendapatan perkapita dari US$ 1.161 pada 2004 menjadi US$ 3.475 pada 2014 atau meningkat tiga kali lipat. Termasuk juga untuk melakukan subsidi kepada masyarakat mengingat harga bahan bakar minyak yang melampaui 100 USD perbarrel.

Jika dilihat pada masa pemerintahan Jokowi, jumlah utang yang dihimpun mencapai Rp 1.097,72 triliun dengan rasio utang sebesar 27,9 persen. Kondisi tersebut, kata dia, tidak sebanding dengan prestasi dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi.

"Pada tahun 2015, pertumbuhan hanya mencapai 4,79 persen, kemudian tahun 2016 sebesar 5,02 persen. Untuk tahun 2017, sampai triwulan kedua hanya mencapai 5,1 persen," ujar Marwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement