Senin 10 Jul 2017 15:36 WIB

Pengusaha Ritel: Bonus Demografi Sumbang Lesunya Daya Beli

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Penjaga menunggu pembeli di salah satu ritel penjualan pakaian di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Senin (14/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Penjaga menunggu pembeli di salah satu ritel penjualan pakaian di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Senin (14/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah penduduk usia muda yang jauh lebih banyak dibanding 'usia mapan' ternyata memberikan imbas terhadap daya beli masyarakat. Pelaku usaha ritel menganggap, fenomena bonus demografi yang segera dihadapi Indonesia pada 2020 ternyata memberikan sedikit pengaruh terhadap lesunya daya beli, terutama yang menyasar ke kelompok ritel.

Presiden Jokowi sempat mewanti-wanti bahwa Indonesia akan ketiban berkah dengan banyaknya populasi usia produktif yakni 15 hingga 64 tahun yang mencapai 70 persen dari total penduduk Indonesia. Kondisi ini diyakini akan mulai dirasakan pada 2020 hingga 2030 mendatang. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menyebutkan, dalam 2,5 tahun belakangan terasa perlemahan daya beli yang menyasar ritel. Kalangan pengusaha ritel merasakan semakin sepinya pelanggan ritel.

Analisis sederhana yang ia sampaikan, hal ini lantaran semakin banyaknya konsumen usia muda yang sebetulnya belum memiliki pendapatan tetap. Artinya, semakin banyaknya konsumen di usia yang belum 'mapan' ini membuat daya beli terasa menurun, lantaran pemasukan konsumen golongan muda yang juga belum mencukupi. Upah yang masih minim ini membuat konsumen golongan muda dan belum mapan ini masih mengerem belanja.

"Salah satu penyebabnya. Usia produktif yang semakin besar. Tapi belum semuanya terserap pekerjaan formal. Sehingga belum dapat upah layak," ujar Roy di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (10/7).

Hanya saja, meski menyumbangkan pengaruh atas daya beli, Roy meyakini imbasnya tak signifikan. Ada alasan-alasan lain yang ikut menekan daya beli masyarakat termasuk kebijakan pemerintah atas administered prices atau harga yang ditentukan pemerintah termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tarif listrik. "Penurunan (ritel) bisa sampai 40-50 persen dari pertumbuhan tahun lalu. Itu pertumbuhan bulan ke bulan dari penjualan," ujar Roy.

Lesunya daya beli masyarakat memang kembali menjadi obrolan hangat sejak salah satu raksasa ritel Indonesia, yakni 7-Eleven, menyatakan tutup operasi sejak akhir Juni 2017 lalu. Roy melihat bahwa kasus 7-Eleven memang ada kaitannya dengan anjloknya daya beli masyarakat yang terasa dalam 2,5 tahun belakangan. Ditambah lagi, ujar Roy, 7-Eleven bukan seperti waralaba ritel lainnya yang memang fokus pada penjualan produk ritel. Seperti diketahui, 7-Eleven menyasar kelompok muda atau anak nongkrong yang membuat biaya operasional perusahaan ikut bengkak.

"Penyewa menaikkan harga dan pendapatan tidak sama dengan biaya, nah ini juga sesuai dengan keterbukaan informasi mereka yang menyatakan keterbatasan sumber daya," ujar Roy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement