REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah sedang serius mengkaji berbagai opsi (pilihan) untuk mencari jalan keluar atas persoalan pembiayaan keuangan BPJS Kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan pembiayaan program BPJS Kesehatan tidak akan tertutup kalau hanya mengandalkan iuran peserta karena memang tidak sesuai hitungan aktuarianya. Ia membeberkan, iuran peserta BPJS Kesehatan kelas 3 yang hitungannya Rp 53 ribu ditetapkan menjadi Rp 25.500.
Demikian pula, peserta kelas 2 yang hitungannya Rp 63 ribu ditetapkan Rp 51 ribu. Hanya iuran peserta kelas 1 yang sudah sesuai dengan hitungan aktuaria sebesar Rp 80 ribu. Oleh karena itu, Fahmi mengungkapkan pemerintah sudah tahu akan terjadi defisit keuangan sekian rupiah dalam satu tahun. "Itu persoalan struktur yang mendasar," kata Fahmi, di Jakarta, Rabu (21/6).
Di antara berbagai opsi menangani defisit, Fahmi menyatakan pemerintah sudah berkomitmen untuk tidak akan mengurangi manfaat bagi peserta. Ia mencontohkan, defisit akan teratasi bila pemerintah tidak menanggung penyakit jantung karena jantung menyerap Rp 7,4 triliun. Tapi, Fahmi menegaskan, rencana ini tidak akan dilakukan.
Fahmi menuturkan salah satu opsi yang sempat ditawarkan untuk menutup defisit adalah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Catatan pemerintah pusat, SiLPA daerah di seluruh Indonesia pada 2015 sebesar Rp 101 triliun.
"Tapi setelah dibahas tidak memungkinkan opsi itu karena silpa tiap daerah berbeda angkanya naik turun tidak pasti," ujar Fahmi.
Dirut BPJS Kesehatan menambahkan, opsi pajak rokok yang potensinya secara nasional mencapai Rp 14 triliun juga sempat dilirik. Jika dana ini digunakan 50 persen saja, menurut Fahmi, sudah bisa menutup defisit keuangan BPJS. Namun, Fahmi mengungkapkan, opsi ini juga kecil kemungkinan digunakan karena terhambat oleh regulasi.
Opsi lain yang ditawarkan, yakni bauran kebijakan antara masyarakat, penerima manfaat, dan pemerintah daerah, yang akan dibahas lagi pada awal Agustus 2017. "Konsep awalnya, pemda menambah dari iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI). Iuran PBI kan Rp 23 ribu, harusnya Rp 36 ribu. Ada minus Rp 13 ribu. Minus Rp 13 ribu itulah yang dibayari oleh pemda," ujar Fahmi.
Sumber keuangannya berasal dari alokasi APBD untuk dana kesehatan yang besarannya 10 persen. Pemerintah akan mengecek daerah mana saja yang belum mengalokasikan 10 persen dana kesehatan. Lanjut Fahmi, instruksi untuk mengalokasikan dana 10 persen tersebut bisa dikeluarkan oleh Menteri Keuangan.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani mengungkapkan, pemerintah masih berupaya mencarikan berbagai potensi untuk menutupi pembiayaan keuangan BPJS kesehatan dengan cara gotong royong.
Sesuai arahan pada rapat terbatas tentang pengendalian pembiayaan BPJS Kesehatan, Presiden Joko Widodo meminta agar dilakukan perhitungan yang cermat dan akurat pembiayaan keuangan BPJS kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit.
Ada beberapa opsi yang muncul terkait penyelesaian pembiayaan keuangan BPJS kesehatan. Ada opsi mendorong pemerintah daerah agar menganggarkan 10 persen APBD untuk kesehatan, serta opsi bauran yaitu penyesuaian iuran, subsidi biaya katastropik dari pemerintah pusat, serta cost sharing untuk penyakit yang berpotensi moral hazard.
Diharapkan, lanjut Menko PMK, dengan selesainya permasalahan tersebut tidak ada lagi keluhan masyarakat terhadap pelayanan BPJS kesehatan, keluhan obat habis, dan keluhan-keluhan lainnya. “Opsi-opsi tersebut adalah opsi yang bersifat gotong royong yang semuanya ditanggung bersama-sama oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan penerima manfaat,” ujar Menko PMK itu. Rapat ini juga diikuti Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.