Kamis 11 May 2017 15:59 WIB

Pemerintah Siap 'Jerat' Pengemplang Pajak tak Ikut Program Amnesti

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Petugas melayani wajib pajak yang ingin memperoleh informasi mengenai kebijakan amnesti pajak (tax amnesty). ilustrasi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Petugas melayani wajib pajak yang ingin memperoleh informasi mengenai kebijakan amnesti pajak (tax amnesty). ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mulai menyasar para wajib pajak yang masih menyembunyikan hartanya tanpa memanfaatkan program amnesti pajak yang rampung pada akhir Maret 2017 lalu. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang ditargetkan akan diterbitkan sebelum semester II 2017 tersebut, juga akan menjerat wajib pajak yang telah mengikuti amnesti pajak namun belum melaporkan seluruh hartanya. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, RPP yang disiapkan merupakan tindak lanjut dari program pengampunan pajak. Aturan baru tersebut nantinya juga akan memberikan rincian sanksi dan denda yang harus dibayarkan oleh wajib pajak yang terbukti melakukan penghindaran pajak selama ini. 

RPP yang disiapkan pemerintah tersebut sekaligus menjadi aturan penjelas dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. "UU itu (pengampunan pajak) kan harus ada yang diselesaikan. Ada prinsip-prinsip dendanya. Bisa karena ia (wajib pajak) lapor atau ditemukan aparat pajak. Bisa juga ia ikut pengampunan namun angkanya tidak benar," jelas Darmin usai rapat koordinasi di kantornya, Rabu (10/5) malam. 

Darmin menyebutkan, aturan yang sedang digodok ini akan menjadi kepastian hukum bagi aparat pajak yang sedang mengusut wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti. Apalagi, dalam UU Pengampunan Pajak tidak diatur secara rinci terkait kelanjutan proses pemeriksaan pascaamnesti. 

Pasal 18 UU Pengampunan Pajak hanya menjelaskan, apabila terdapat wajib pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan namun kemudian ditemukan ada harta maupun aset yang belum maupun kurang diungkap dalam Surat Pernyataan, maka harta maupun aset dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan.

Artinya, mengacu pada aturan tersebut maka tambahan penghasilan yang dimaksud dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan. Tarif tersebut masih harus ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200 persen dari PPh kurang bayar. 

"Kita harus buat aturannya secara rinci, tarifnya berapa, dendanya berapa. Pokoknya itu diatur secara jelas sehingga tidak bisa ditafsir-tafsirkan lain dalam pelaksanaan," ujar Darmin. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan, memang berdasarkan UU Pengampunan Pajak, temuan harta yang belum dilaporkan akan dianggap sebagai penghasilan baru dan wajib dikenai tarif PPH reguler, ditambah dengan sanksi administrasi yang berlaku. "Dianggap sebagai penerimaan penghasilan pada tahun di mana dia ditemukan maka treatment atau perlakuan pajaknya harus mengikuti Perppu yang berlaku," ujar Sri. 

Ia menyebutkan, Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan Kementerian Sekretarsi Negara saat ini sedang memfinalisasi RPP yang akan mempertegas skema sanksi atas wajib pajak bandel setelah amnesti pajak rampung. 

"Kalau draftnya hari ini kan sudah disepakati mengenai interpretasi apa itu Perppu yang berlaku. Nanti kita draft. Jadi legalnya akan diselesaikan oleh tim pajak dengan Kemensesneg," ujar Sri. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement