REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat adanya peningkatan aliran dana repatriasi program amnesti pajak yang diinvestasikan di pasar modal. Bila pada pertengahan Januari 2017 nilai dana repatriasi yang masuk ke pasar modal sekitar Rp 2,5 triliun, maka per akhir Februari 2017 angkanya melonjak menjadi Rp 9 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida menilai, lonjakan aliran dana repatriasi pada Januari-Februari ini menunjukkan bahwa sejak awal pemilik dana masih menunggu untuk memilih instrumen investasi mana yang tepat untuk menampung dana repratiasi mereka. Itu pun, lanjut Nurhaida, investasi ke pasar modal berasal dari dana yang terlebih dahulu disimpan di gateway perbankan, bukan langsung dari gateway pasar modal.
"Dari perbankan, lalu diivestasikan ke produk-produk pasar modal," jelas Nurhaida ditemui di Kementerian Keuangan akhir pekan kemarin.
Nurhaida memberikan rincian, dana instrumen pasar modal yang paling banyak menampung dana repatriasi adalah reksadana. Paling tidak ada 20 persen dari seluruh dana yang masuk pasar modal, atau lebih dari Rp 1,5 triliun dana repatriasi yang ditempatkan di reksadana.
Sementara di posisi kedua, Rp 400 miliar dana repatriasi mengalir ke saham, dan sisanya tersebar di instrumen investasi pasar modal lainnya termasuk obligasi pemerintah dan KPD atau Kontrak Pengelolaan Dana.
OJK mencatat, sebanyak 85 persen dana repatriasi masih mengendap di perbankan. Nurhaida menilai hal ini lantaran pemilik modal masih menunggu dan memastikan instrumen invetsasi mana yang menguntungkan.
Apalagi, gejolak ekonomi global membuat investor ingin memastikan bahwa dana repatriasi yang mereka boyong ke Indonesia benar-benar memberikan keuntungan. Per Februari 2017, dana repatriasi yang sudah masuk ke Indonesia tercatat sekitar Rp 143 triliun.
Menurut Nurhaida, melihat tren yang ada ke depan maka instrumen pasar modal akan menjadi primadona yang dimanfaatkan investor dalam menampung dana repatriasi. Ia menilai bahwa instrumen pasar modal pada dasarnya memberikan return yang lebih tinggi dibandingkan produk perbankan.
"Tentunya dengan kemudian masing-masing ada plus minus, ada risk ada return," katanya.