REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai telah melanggar Undang-Undang No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara terkait permintaan untuk mengubah status PT Freeport Indonesia dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Menurut Pakar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin Abrar Saleng, mengakhiri status KK dengan ketentuan Permen ESDM No 5/2017 merupakan tindakan yang melanggar ketentuan hukum yang lebih tinggi.
"Mengakhiri KK dengan ketentuan Permen ESDM No 5/2017 adalah melanggar dan menyimpang ketentuan hukum yang lebih tinggi," ujar Abrar saat diskusi dalam forum ahli Indonesian Mining Association (IMA), di Jakarta, Senin (8/5).
Ia menilai, seharusnya KK tetap berlaku hingga waktu perjanjian berakhir yakni hingga 2021 dalam kasus Freeport. Perubahan status kontrak pun, lanjutnya, seharusnya berdasarkan hasil renegosiasi, bukan dalam bentuk Permen.
"Menghargai perubahan itu dalam bentuk renegosiasi bukan dalam bentuk Permen," tambahnya.
Lebih lanjut, ia juga menilai apabila IUPK Operasi Produksi yang diberikan berakhir sesuai sisa waktu KK, seharusnya perusahaan dapat menolak. Namun apabila tetap harus berubah menjadi IUPK OP, maka, menurutnya jangka waktu IUPK OP seharusnya tetap yakni selama 20 tahun plus sisa waktu KK.
"Jika opsi-opsi tersebut ditolak oleh pemerintah, karena sudah terlanjur diberi IUPK OP sementara (seharusnya dibaca berdasarkan hasil renegosiasi), sehingga tidak terkesan hanya justifikasi ekspor hasil pengolahan," jelas Abrar.
Abrar juga mengatakan, pemerintah tidak bisa seenaknya mengubah status izin tambang lantaran harus sesuai dengan hukum dan peraturannya.
"Katanya kalau enggak setuju IUPK, bisa berubah lagi jadi KK. Enggak bisa begitu, enggak bisa hukum sesuai selera," tambahnya.