REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Presiden Jokowi diminta untuk tidak melakukan perombakan kabinet, khususnya posisi menteri di bidang ekonomi, sebelum Puasa dan Lebaran tahun ini. Alasannya, menjelang puasa dan Lebaran muncul risiko inflasi dari kenaikan harga-harga bahan pokok dan harga yang diatur pemerintah atau administered prices.
Peneliti Institute of Development for Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyebutkan, tim ekonomi yang kuat di pemerintahan sedang dibutuhkan untuk menjaga gejolak ekonomi dari dalam dan dari luar. Di dalam negeri, lanjutnya, risiko inflasi pasti muncul menjelang puasa dan Lebaran.
Sedangkan dari sisi eksternal, pasar global juga senantiasa melihat konsistensi kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah Indonesia. Bhima menilai, seringnya perombakan kabinet, apalagi di sektor ekonomi, memberikan sentimen negatif kepada pasar.
"Lebih baik fokus menangani inflasi dulu. Terlalu sering reshuffle juga nggak bagus buat investasi. Apalagi kebijakannya coba-coba," kata Bhima, Rabu (26/4).
Khusus menyoroti kinerja Menteri Keuangan Sri Mulyani, Bhima melihat bahwa mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut memang lebih ketat dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dibanding menteri-menteri sebelumnya. Hanya saja, ia mengingatkan Sri untuk lebih hati-hati atas risiko pemangkasan anggaran yang masih membayangi di semester II tahun 2017 ini.
Alasannya, belanja pemerintah masih menyumbang porsi untuk pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 9,4 persen. "Jadi dilematis mau kejar growth atau fiskal yang kredibel. Saya sih mending pertumbuhan yang standar tapi merata alias ketimpangan turun," katanya.