REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pangsa sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia nasional terus menurun. Penurunan tersebut tercermin pada menurunnya pangsa pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Dalam kurun 10 tahun terakhir, pangsa sektor pertanian turun dari kisaran 20 persen sampai 23 persen menjadi hanya sekitar 13 persen saja pada 2016. Reformasi pangan pun dinilai mendesak.
"Upaya pemerintah meningkatkan produksi pertanian melalui pembangunan infratsruktur seperti irigasi diperkirakan baru akan selesai tiga sampai lima tahun ke depan," ujar Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo dalam temu media menjelang Rapat Evaluasi Ekonomi dan Keuangan Daerah (REKDA) dengan pokok bahasan 'Mempercepat Reformasi Pangan dalam rangka Menjamin Ketersediaan Pangan dan Keterjangkauan Harga bagi Masyarakat serta Mengurangi Kesenjangan Kesejahteraan', Kamis (30/3), di Semarang, Jawa Tengah.
Dody menjelaskan pengelolaan pangan mulai dari produksi, distribusi dan tata niaga, sampai harga pangan dirasakan belum maksimal. Sementara gejolak pasokan dan harga pangan, disparitas harga yang tinggi antardaerah juga mencerminkan regulasi dan insentif pada sektor pertanian belum optimal. Selain itu, tingkat konversi lahan masih tinggi, terutama di Jawa, mengakibatkan luasan lahan tanaman pangan menjadi kurang memenuhi skala ekonomi.
"Ini cukup menyulitkan terkait upaya pengembangan teknologi produksi dan pascaproduksi. Dampaknya, baik produktivitas dan kualitas produksi pangan pascapanen menjadi rendah. Risiko usaha sektor pertanian pun menjadi semakin tinggi," papar Dody. Salah satu risiko tersebut tak lain semakin terbatasnya sumber pembiayaan petani, yang berujung pada ketergantungan pada pembiayaan informal seperti tengkulak atau pengijon.
Kondisi itu disebutkan Dody berdampak pada semakin panjangnya rantai perdagangan komoditas pangan. Inilah yang diduga dimanfaatkan pedagang untuk meraup margin keuntungan yang jauh lebih besar dari petani. Selain itu, struktur pasar komoditas pangan juga menjadi tidak efisien. Harga-harga pun terkesan menjadi kurang terkendali.
"Kita lihat inflasi pangan selalu di kisaran angka lima persen sampai sepuluh persen, hampir selalu di atas indeks harga konsumen. Inilah yang selalu mengerek naik inflasi. Kita menargetkan inflasi di kisaran tiga persen sampai lima persen, maka inflasi pangan perlu dijaga di kisaran yang sama," tutur Dody.
Menanggapi keadaan tersebut, dalam kesempatan yang sama, peneliti Unika Soegijapranata, Angelina Ika Rahutami, menegaskan reformasi pangan sudah sangat mendesak. "Jelas mendesak. Pangan itu selalu berkaitan dengan supply dan demand, maka jika tidak diintervensi pemerintah, akan menjadi sangat rawan," ujar Ika. Intervensi pemerintah ditegaskannya sangat dibutuhkan lantaran lahan pertanian yang semakin sedikit. Belum lagi jika memperhitungkan populasi pekerja pertanian yang semakin menua.
Menurut Ika, sektor pertanian bisa dibilang sangat berisiko karena tergantung banyak faktor yang sulit dikendalikan, misalnya saja cuaca. Jadi, kalau pertanian tetap berada pada level household (rumah tangga), maka petani akan kesulitan terkait sharing risk-nya. "Salah satu solusinya, mengangkat level household tadi ke level komunitas, sehingga bisa terjadi sharing risk yang lebih kuat," ujarnya.
Menurut Ika pemerintah perlu memberi peluang bagi penguatan petani secara bottom-up. "Secara politis pun butuh kebijakan yang lebih menyeluruh," tandasnya.