REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Filantropi Islam, khususnya zakat dan wakaf, memiliki peran signifikan dalam menopang perekonomian Indonesia. Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Nur Hidayah, menekankan zakat dapat menjadi bantalan ekonomi bagi mustahik (penerima zakat) dengan dua fungsi utama: sebagai bantuan sosial jangka pendek dan sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi jangka panjang.
"Zakat fitrah menjadi bantuan sosial dalam jangka pendek yang bersifat konsumtif, seperti pangan. Sementara zakat maal merupakan bantuan sosial jangka panjang yang dapat bersifat produktif, seperti bantuan pendidikan, modal usaha, dan pemberdayaan ekonomi lainnya," ujar Hidayah saat diskusi publik bertema 'Overview Ekonomi Ramadhan' di Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Menurut Hidayah, zakat memiliki dampak luas, baik bagi individu berpenghasilan rendah maupun perekonomian nasional. Dari sisi masyarakat berpenghasilan rendah, sambung Hidayat, zakat dapat membantu menjaga daya beli.
Hidayah menyampaikan zakat fitrah secara tidak langsung dapat menekan angka inflasi karena adanya distribusi kekayaan dari kelompok kaya ke kelompok miskin dari sisi ekonomi makro. Hal ini membantu menjaga stabilitas permintaan barang dan jasa tanpa harus meningkatkan jumlah uang beredar secara berlebihan.
"Selain zakat, wakaf juga memiliki potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ucap Hidayah.
Hidayah mengatakan wakaf merupakan usaha menjadikan harta dari kepentingan konsumsi menjadi modal investasi yang dapat menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan umat. Hidayah menyebut sejumlah penelitian mengonfirmasi dampak positif filantropi Islam.
Hidayah mengatakan studi Institute for Social and Economic Research (ISER) pada 2019 menunjukkan wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin hingga 20 persen. Bank Dunia pada 2020 menemukan bahwa zakat dapat mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 10 persen. Sementara penelitian Universitas Indonesia pada 2021 menyebutkan wakaf meningkatkan produktivitas masyarakat sebesar 15 persen, dan studi Universitas Brawijaya pada 2022 mengungkapkan zakat dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia hingga 20 persen.
Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) memperkirakan potensi zakat fitrah di Indonesia mencapai 476,3 ribu hingga 536,8 ribu ton beras, atau setara dengan Rp 6,8 triliun hingga Rp 7,5 triliun.
"Jika dialokasikan kepada 24,03 juta mustahik, konsumsi beras per kapita mereka dapat meningkat dari 0,207 kg per hari menjadi 0,261 kg hingga 0,268 kg per hari. Apabila zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk uang, setiap mustahik berpotensi menerima Rp 285 ribu hingga Rp 314 ribu," sambung Hidayah.
Namun, ucap Hidayah, sektor ekonomi syariah Indonesia masih menghadapi tantangan dalam implementasi filantropi Islam. Berdasarkan survei OJK tahun 2024, tingkat literasi keuangan syariah masih berada di angka 39,11 persen, sementara tingkat inklusi keuangan syariah hanya 12,88 persen.
Selain itu, pengelolaan Ziswaf (Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf) masih bersifat tradisional dan lebih banyak dikelola secara komunitas di masjid atau mushala, sehingga distribusinya kurang terkoordinasi secara nasional. Hidayah juga menyoroti kebijakan fiskal untuk zakat dan wakaf masih belum cukup menarik bagi muzakki (pemberi zakat) dan investor wakaf.
"Banyak lembaga filantropi masih mengandalkan sistem manual dalam pencatatan, pengumpulan, dan penyaluran dana, sehingga prosesnya kurang efektif dan rentan terhadap kesalahan administrasi," kata Hidayah.
Muhammad Nursyamsi