Jumat 10 Mar 2017 20:07 WIB

BI Yakin dengan Ekonomi Domestik Jelang Kenaikan Bunga The Fed

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
 Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan optimismenya bahwa kondisi ekonomi domestik secara makro masih cukup stabil. Keyakinan BI ini merespons rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) pada Maret 2017. Rencananya, pertemuan oleh The Federal Open Market Committee (FOMC) akan dilakukan pertengahan Maret ini untuk memutuskan kenaikan suku bunga acuan bank.

Gubernur BI Agus Martowardojo menilai, keyakinannya bahwa The Fed akan menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin nyaris 100 persen. Artinya, pasar dunia sudah nyaris yakin bahwa The Fed benar-benar akan naikkan suku bunga acuannya. Ia menjelaskan, keputusan kenaikan Fed Fund Rate nantinya akan mendorong penguatan nilai tukar dolar AS dan berujung pada pelemahan mata uang negara lain di dunia.

"Tapi kondisi ekonomi baik itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca dagang, cadangan devisa baik upaya pengelolaan fiskal baik jadi dana masih masuk di Indonesia," kata Agus di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (10/3).

BI mencatat bahwa jumlah dana yang masuk ke Indonesia atau capital inflow hingga pekan kedua Maret ini sebesar Rp 31 triliun. Selain itu, angka inflasi di awal Maret ini terhitung 0,18 persen atau lebih rendah dari inflasi Januari sebesar 0,97 persen.

"Ini membuat kami optimis stabilitas ekonomi Indonesia terjaga. Kondisi ini masih baik. Ke depan kami lihat kondisi ekonomi masih baik. Jadi kami optimis, walau kondisi di dunia kami tahu Fed rate akan naik, inflasi di AS naik masalah pekerjaannya juga baik," ujar Agus.

Meski begitu, Agus menegaskan bahwa BI akan tetap melakukan pemantauan atas risiko-risiko yang datang terutama dari sisi eksternal. Ia menyebutkan risiko eksternal misalnya seperti proyeksi Bank Sentral Eropa (ECB) bahwa angka inflasi akan meningkat, gejolak politik di Prancis, dan Cina yang umumkan pertumbuhan ekonominya di angka 6,5 persen.

"Ini kami perhatikan. Termasuk harga minyak tadinya sudah di atas 50 dolar AS jadinya di bawah karena stok dan produksi di AS naik. Ini jadi perhatian kami tapi secara umum kondisi ekonomi membaik," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement