Jumat 03 Mar 2017 20:10 WIB

Dituding Mengemplang Pajak, Importir Daging Minta Kemenkeu Cek Ulang

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Penguusaha  Importir Daging Indonesia (Aspidi) menegaskan bahwa pelaku usaha sudah membayar pajak dari sisi bea masuk secara tertib. Alasannya, bila bea masuk tidak dibayarkan, maka produk daging yang diimpor tak mungkin bisa lolos ke pasar dalam negeri.

Ketua Umum Aspidi Thomas Sembiring menilai, data yang dipaparkan Kementerian Keuangan terkait nilai impor daging sapi yang melonjak mesti diklarifikasi lagi. Alasannya, menurut catatan asosiasi, realisasi impor daging sapi pada 2016 lalu malah sempat menurun.

Tahun lalu pemerintah menetapkan kebijakan satu pintu untuk impor daging sapi India oleh Bulog. "Seharusnya, angkanya tak jauh beda dengan realisasi tahun 2015. Sehingga kalau Kemenkeu bilang angkanya naik, harus dicek lagi," kata Thomas, Jumat (3/3).|

Diberitakan sebelumnya, pemerintah mulai memburu pengusaha daging impor yang melakukan penghindaran pajak. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi menyebutkan, adanya dugaan pengemplang pajak mencuat setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan adanya 12 pengusaha daging ayam dan 32 pengusaha daging sapi yang terbukti melakukan praktik kartel.

Pemerintah kemudian melakukan penelusuran dan pencocokan antara volume impor daging dan penerimaan pajak terutama Pajak Pengahsilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hasilnya, pertambahan volume impor yang signifikan tidak sejalan dengan penerimaan pajak.

Ken mengungkapkan paling tidak ada dua modus yang dilakukan oleh pengimpor daging dalam menjalankan praktiknya. Modus pertama, rantai pasok dari hulu sampai hilir dilakukan oleh oknum yang sama namun divariasikan dengan badan usaha yang bermacam-macam.

Sedangkan modus kedua, memanfaatkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang berbeda dengan produk yang diimpor. Misalnya, KLU untuk impor produk elektronik malah digunakan untuk impor daging.

"Setiap titik poin jalur distribusi ini pemiliknya yaa dia-dia juga. Padahal barangnya tetap disini tapi transaksi dokumennya di sana di sana. Itu modus pertama. Importir daging, KLU-nya alat-alat listrik. Pemiliknya Singapura, padahal WNI juga," ujar Ken di Kementerian Keuangan, Kamis (2/3).

Selain itu, Ken juga mengungkapkan bila terbukti melakukan penghindaran pajak, maka pelaku usaha diharuskan membayar denda 48 persen dari total pajak terutang. Tak hanya itum pelaku usaha tetap harus melunasi pajak badan usaha sebesar 25 persen.

Nantinya, lanjut Ken, penerimaan pajak dari importir daging akan digunakan untuk mengontorl harga daging di pasaran. "Yang penting siapapun boleh bisnis tapi pajaknya harus bayar. Itu kan kembali ke masyarakat. Bu Menkeu kan kembalikan ke APBN," ujar Ken.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement