REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar mengatakan sikap Freeport Indonesia (PTFI) yang akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan bukan hal baru. Pemutusan hubungan kerja tersebut rencananya diambil Freeport setelah enggan mengubah status kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang menjadi syarat ekspor konsentrat.
"PTFI mengancam (pemerintah) sudah bukan yang pertama kali, artinya cara-cara PTFI seperti ini sudah pernah dia lakukan," kata ahli hukum pertambangan itu kepada Republika.co.id, Senin (20/2).
Freeport Indonesia masih berpegang pada status kontrak karya 1991. Padahal, menurut Bisman, justru aturan dalam Peraturan Pemerintah 1 tahun 2017 yang mengharuskan perusahaan berstatus kontrak karya menjadi IUPK untuk kepentingan ekspor, mengakomodasi kepentingan Freeport.
"Agar bisa menjual mineral mentahnya ke luar negeri, karena salah satu hal penting dalam PP dan Permen (ESDM 5 dan 6, turunan dari PP 1 /2017) itu adalah nikel dan bauksit untuk kadar tertentu masih boleh diekspor, kedua PTFI dan beberapa KK boleh melakukan ekspor sepanjang ada komitmen membangun smelter. Sepanjang membayar bea, padahal UU tidak mengatakan demikian," ujar Bisman.
Ia menilai pemerintah seakan didikte Freeport untuk kesekian kalinya. Namun, saat ini ia melihat bakal ada kegoncangan dalam tubuh perusahaan tersebut lantaran berhenti beroperasi. " Yang perlu dilakukan pemerintah, menangani dan menanggulangi dampak-dampak ekses negatif manakala larangan ekspor ini dilakukan secara tegas," tutur Bisman.
Baca juga: Menteri ESDM Jonan Tanggapi Ancaman Freeport PHK Karyawan