Jumat 03 Feb 2017 11:45 WIB

Pemerintah Siapkan 3 Opsi Pungutan Pajak Tanah Menganggur

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Lahan kosong.
Foto: Republika
Lahan kosong.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyiapkan tiga opsi untuk memajaki tanah idle atau menganggur. Langkah untuk mengenai pajak atas tanah tak produktif ini diharapkan bisa mendorong pemerataan kepemilikan lahan, sekaligus mendesak pemilik lahan untuk menciptakan aktivitas ekonomi di atas lahan yang dimiliki.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, pembahasan soal kebijakan pajak tanah masih belum final. Hanya saja, tiga opsi yang diberikan pemerintah nantinya bisa bersifat kumulatif dalam jangka waktu tertentu.

Opsi pertama atas pajak tanah idle dilakukan dengan skema progresif berdasarkan kepemilikan tanah. Artinya, semakin luas kepemilikan tanah oleh suatu badan atau pribadi maka pajak yang akan dikenakan semakin tinggi.

Sementara opsi kedua adalah capital gain tax, di mana pajak transaksi tanah akan digantikan dengan skema tersebut. Nantinya, pajak akan dikenakan pada nilai tambah dari harga suatau tanah. Menilik contoh kasus yang diberikan oleh Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA), misalnya ada sepetak tanah dengan harga perolehan Rp 100 juta. Dalam kurun waktu tertentu tanah ini kemudian dijual dengan harga Rp 500 juta. Artinya ada selisih Rp 400 juta. Angka ini-lah yang dipajaki, misalnya 5 persen. Berarti besaran pajaknya 5 persen dari Rp 400 juta atau sebesar Rp 20 juta.

Opsi pajak tanah ketiga adalah unutilized asset tax. Skema ini membuat perusahaan atau pribadi yang memiliki tanah secara luas tanpa memiliki perencanaan yang jelas untuk membayar pajak. Dengan kata lain, akan berlaku pajak landbank. Prinsipnya, tanah yang tak produktif akan dipajaki.

Darmin menyebutkan, khusus untuk capital gain tax nantinya bisa dibuatkan aturan pemajakan baru di luar Pajak Penghasilan (PPh) normal. Meski begitu, ia menyebutkan bahwa kebijakan ini masih digodok.

"Awalnya pajak progresif, tapi akan terus nanti ada batas waktunya. Artinya bisa kumulatif setelah waktu tertentu," ujar Darmin di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kamis (2/2) malam.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo menjelaskan, ide pengenaan pajak atas lahan tidak produktif atau unutilized asset tax dipilih sebagai instrumen pemerataan dan penciptaan keadilan sosial. Namun agar kebijakan ini efektif, menurutnya, perlu dipikirkan implementasinya, baik level regulasi yakni jenis pajak apa yang tepat dan segi teknis berupa administrasi paling mungkin dan mudah.

"Basis pengenaan pajak bisa dua, pengusahaan (lahan tidak produktif) dan penguasaan (kepemilikan berlebih). Bisa juga sekalian diatur, tanah atau bangunan yang dijual kurang dari lima tahun dianggap spekulasi sehingga dikenai pajak lebih tinggi," kata Yustinus dalam keterangannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement