REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Departemen Antar Lembaga Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Yudha Sudarmaji mengatakan, pajak di sektor produk tembakau merupakan penyumbang terbesar nomor tiga setelah PPN dan PPH. Itu berdasarkan data resmi Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan 2015.
Sektor pertambakuan, menurut Yudha, memberikan kontribusi rill bagi negara melalui pajak, cukai hasil tembakau dan penyerapan tenaga kerja. Untuk itu, pemerintah perlu untuk melindungi keberlangsungan di sektor ini.
“Kontribusi rill tersebut harus dibarengi langkah tegas pemerintah untuk melindungi keberadaan dan keberlangsungan sektor pertembakauan melalui regulasi,” ujar Yudha dalam keterangan tertulis kepada Republika, saat aksi damai petani tembakau di depan kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, Jawa Tengah, Senin (9/1).
Yudha menyebut, pembayaran pajak produk tembakau di tahun 2015 mencapai Rp 173,9 triliun yang terdiri dari cukai tembakau, pajak daerah dan PPN rokok. Sedangkan pada tahun 2014 berdasarkan data BPS menyebutkan IHT merupakan penyumbang ekspor yang signifikan terhadap negara dengan peningkatan 52 persen sejak 2010 sampai 2014.
Yudha menegaskan, setiap usaha memerlukan kepastian hukum agar mendapatkan ketenangan dalam menjalankan usahanya. Termasuk bisa memproyeksikan langkah kedepan usaha tersebut.
Hal itu sama dengan petani tembakau. Yudha menuturkan, RUU pertambakauan yang telah disepakati pada paripurna 15 Desember 2016 lalu merupakan harapan para pemangku kepentingan sektor pertambakuan.
Yudha berpendapat, RUU tersebut merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum berbagai pemangku kepentingan dengan harapan memperbaiki regulasi di berbagai aspek. Seperti pengelolaan tembakau baik dari sisi budaya, kepentingan petani, produksi, tata niaga, penerimaan negara dan aspek ketenagakerjaan.
“RUU pertambakuan yang kita usung ada pasal perlindungan yaitu melindungi petani, industri hasil tembakau, melindungi produknys serta rokok kretek sebagai warisan budaya,” jelasnya.