Selasa 25 Oct 2016 16:17 WIB

OECD Soroti Buruknya Kemudahan Berinvestasi di Indonesia

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Investasi di Indonesia (Ilustrasi)
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Investasi di Indonesia (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia  dinilai perlu membuat kebijakan yang konkrit agar kemudahan berusaha atau ease of doing bussiness betul-betul dirasakan pelaku usaha yang ingin memulai suatu kegiatan usaha atau bisnis. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menilai bahwa hingga saat ini masih banyak pelaku usaha masih merasa direpotkan ketika akan membuka usahanya di Indonesia.

Menurut OECD kondisi terjadi ini lantaran masih tingginya biaya bagi sebuah usaha untuk mendaftarkan properti yang mencapai 10 persen dari nilai properti yang bersangkutan dan lamanya waktu yang diperlukan untuk mendaftarkan sebuah usaha baru dengan rata-rata waktu 47 hari. Padahal, dalam paket kebijakan ekonomi ke-13 yang dirilis pemerintah pada April 2016 lalu, bertujuan untuk memangkas lama waktu dan biaya pendaftaran usaha serta mengurangi jumlah prosedur yang diperlukan untuk mendaftar properti.

Catatan OECD, peringkat kemudahan berusaha Indonesia secara keseluruhan masih bertengger di peringkat ke-109, maish kalah dibanding Malaysia yang menduduki peringkat ke-19, Thailand di posisi ke-49, atau Cina di posisi ke-84. Sementara penilaian secara spesifik untuk kemudahan memulai usaha, Indonesia menduduki peringkat ke-173, kalah jauh di bawah Malaysia di peringkat ke-14 dan Thailand di posisi ke-96.

Sekjen OECD Angle Gurria menilai, kemajuan lebih lanjut dapat dicapai dengan jalan menerapkan kebijakan seperti mengurangi pajak transaksi dan pajak atas pembelian tanah dan bangunan dengan cara menetapkan besaran pajak maksimum atau menggantinya dengan tarif tetap.

Opsi lainnya yang bisa dilakukan pemerintah, lanjut Gurria, adalah dengan meningkatkan koordinasi antar-lembaga pemerintah sehingga pelaku usaha tidak perlu menyampaikan pemberitahuan secara terpisah ke berbagai lembaga. Terlebih, lanjutnya, apabila pelaku usaha sudah menyelesaikan urusan administrasi di salah satu lembaga.

"Lalu membangun sistem registrasi secara elektronik. Kebanyakan negara OECD memiliki register usaha elektronik, dan banyak yang menyediakan proses pendaftaran usaha secara daring," ujar Gurria, Selasa (25/10).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement