REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Agustus 2016 tercatat sebesar 323,0 miliar dolar AS, tumbuh sebesar 6,3 persen (yoy). ULN sektor publik atau pemerintah tumbuh 19,2 persen (yoy), sementara ULN sektor swasta melambat 3,9 persen (yoy).
Ekonom Indef Eko Listiyanto menjelaskan, dalam kondisi pelemahan ekonomi saat ini merupakan hal yang wajar apabila pemerintah menambah utang. "Kalau pelemahan ekonomi kayaknya sekarang, wajar ada utang. Sektor publik naik karena pemerintah butuh dana, makanya mengeluarkan global bonds lagi," ujar Eko pada Republika, Selasa (18/10).
Apalagi saat ini penerimaan pajak di luar pengampunan pajak turun, sehingga terjadi shortfall yang besar dalam penerimaan pajak. Padahal pemerintah diharuskan menjaga defisit di bawah tiga persen.
"Mau nggak mau, karena pendanaan yang paling gampang untuk mengurangi defisit, dengan meningkatkan utang ke luar negeri," tuturnya.
Di sisi lain, ULN swasta turun karena tidak adanya kebutuhan industri untuk ekspansi. Hal ini disebabkan daya beli masyarakat yang lemah. Menurut Eko, justru pemerintah yang lebih ekspansif. Kalau pemerintah menarik utang lebih banyak ke pasar uang, swasta akan sulit untuk mengeluarkan obligasi.
"Karena kalau mau jualan dibandingkan pemerintah pasti lebih laku pemerintah. Akhirnya kalau kau menjual obligasi mereka harus meningkatan suku bunga supaya lebih menarik,"tuturnya.
Tidak adanya ekspansi ini menandai rendahnya kebutuhan impor. Sehingga impor tercatat turun. "Jadi memang artinya wajar, di ekonomi kita yang lemah saat ini, ditandai dengan adanya masalah di swasta kita. Sehingga pertumbuhan ekonomi kita mungkin tidak tercapai sesuai proyeksi pemerintah," katanya.