REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai sektor pertambangan masih menjadi penyebab utama rasio kredit bermasalah perbankan atau Non Performing Loan (NPL) naik. Tercatat NPL hingga Agustus 2016 sebesar 3,20 persen, sedangkan NPL Nett 1,40 persen.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad menjelaskan, rasio kredit bermasalah yang cukup tinggi ini disebabkan karena lemahnya kredit sektor pertambangan pada tahun lalu.
"NPL itu kan sisa 2015, terutama datang dari sektor pertambangan dan terkait dengan itu, misal sewa menyewa alat berat tranportasi dan sebagainya," ujar Muliaman di Jakarta, Kamis (13/10).
Menurut Muliaman, meski NPL tinggi, hal yang terpenting adalah bank telah siap untuk mengcover risiko tersebut dengan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Hal ini terlihat dari nilai rasio kecukupan modal atau Capital Adequate Ratio (CAR) telah mencapai 23 persen pada Agustus 2016, lebih dari batas yang ditetapkan regulator.
"Jadi jangan khawatir, kapasitas bank untuk menyerap expected loses (kerugian yang telah diduga) dan not expected loses (kerugian tak diduga) itu sudah disiapkan," jelasnya.
Selain itu, meski kredit hingga Agustus 2016 masih tumbuh lambat sekitar 6,0-7,0 persen, namun pertumbuhan kredit rupiah masih cukup menggembirakan. Pihaknya berharap kredit rupiah ini dapat menjadi lokomotif karena ini merefleksikan ekonomi domestik.
"Dan kegiatan berbasis domestik tetap berkembang terbukti dari pertumbuhan kredit dalam rupiah lebih tinggi dibanding periode yang lalu," katanya.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), posisi kredit yang disalurkan perbankan pada akhir Agustus 2016 tercatat sebesar Rp 4.178,6 triliun atau tumbuh 6,7 persen secara tahunan (yoy), lebih rendah dibandingkan Juli 2016 yang tumbuh sebesar 7,6 persen (yoy).