Selasa 28 Mar 2023 09:58 WIB

OJK: Perbankan Indonesia dalam Kondisi Solid

Rata-rata rasio prudensial perbankan Indonesia di atas rata-rata perbankan global.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Gita Amanda
Ilustrasi OJK. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan perbankan Indonesia dalam kondisi solid.
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Ilustrasi OJK. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan perbankan Indonesia dalam kondisi solid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menilai kerentanan yang saat ini tengah terjadi di perbankan global, dipicu oleh kegagalan bank tertentu di Amerika Serikat dan Eropa. Namun ini tidak memiliki dampak signifikan terhadap industri perbankan Indonesia.

"Berbagai indikator menunjukkan bahwa perbankan Indonesia dalam kondisi yang solid dengan rata-rata rasio prudensial yang tetap di atas rata-rata perbankan global," kata Dian dalam pernyataan tertulisnya.

Baca Juga

Dia menjelaskan, pada posisi Januari 2023, rasio kecukupan modal sebesar 25,93 persen. Selain itu, sekitar 85 persen komponen modal masuk dalam klasifikasi modal inti.

Sebagai perbandingan, lanjut Dian, rasio modal inti perbankan Amerika 13,52 persen dan Eropa sebesar 16,13 persen. Selain itu, kinerja likuiditas perbankan Indonesia terjaga dengan baik, antara lain ditunjukkan dengan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) masing-masing tercatat sebesar 232,22 persen dan 134,58 persen.

"Kondisi likuiditas tersebut juga jauh lebih baik dibandingkan dengan rasio LCR dan NSFR perbankan di Amerika sebesar 120,43 persen dan 123,20 persen serta perbankan di Eropa sebesar 152,39 persen dan 120,21 persen," jelas Dian.

Belajar dari kegagalan Sillicon Valley Bank (SVB), Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) juga terus menekankan pentingnya kecukupan rasio modal dan ketersediaan likuiditas yang memadai. Biaya modal serta ketersediaan likuiditas dalam jumlah yang cukup memang dianggap mahal dan tidak efisien.

BCBS juga mengingatkan, keterbatasan modal dan likuiditas akan

menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar. Hal tersebut akan terjadi apabila industri perbankan gagal dalam mengantisipasi pergerakan atau gejolak makroekonomi global dan gagal dalam menjaga kepercayaan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement