Selasa 26 Jul 2016 16:55 WIB

Revisi UU Minerba Terancam Mandek

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
area pertambangan
Foto: Republika
area pertambangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara yang diharapkan rampung tahun ini terancam molor. Hal ini karena hingga tengah tahun 2016 ini belum ada progres tambahan atas pembahasan RUU Minerba. 

Anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menjelaskan, pembahasan RUU Minerba sendiri tidak terkunci sebatas tahun ini saja. Ia menyebutkan, proses pembahasan RUU Minerba masih perlu menempuh beberapa tahapan termasuk penggodokan naskah akademik di internal komisi, pembahasan di badan legislatif, dan pembahasan tingkat badan musyawarah. 

Lepas dari badan musyawarah, tahapan ternyata masih panjang. Satya menyebutkan, bahan RUU Minerba masih harus dibahas melalui pansus atau panja untuk kemudian dibawa ke rapat paripurna. 

"Begitu diketok seluruh anggota dewan, ketua DPR akan kirim surat kepada presiden untuk meminta kementerian untuk melakukan diskusi tingkat satu sama pansus atau panja," jelas Satya di gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/7). 

Dengan berbagai tahapan tersebut, lanjut Satya, RUU Minerba bisa rampung apabila rancangannya bisa sampai pada tahapan paripurna Agustus mendatang. Sedangkan bila kondisinya sebaliknya, maka bisa jadi pembahasan masih menajdi pekerjaan rumah parlemen pada tahun berikutnya. 

"Kalau sampai Agustus blm bisa di paripurnakan, kecil kemungkinan untuk selesai hari ini. Tapi berproses. Kan kita tidak perlu selesai tahun ini. Kalau misalnya ternyata di paripurnakan bulan September, dia tidak selesai tahun ini tapi selesai kuartal pertama tahun depan," kata Satya. 

Parlamen, lanjut Satya, mendesak pemerintah untuk menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) yang fungsinya mensubstitusi RUU Minerba. Ide ini berdasarkan ketetapan pemerintah yang mengacu pada UU Minerba tahun 2009 bahwa mineral mentah dilarang untuk diekspor. Larangan ini berlaku sejak Januari 2014 namun secara spesifik ada korporasi yang masih memperoleh izin ekspor seperti Freeport. 

Satya menilai, langkah pemerintah ini sudah melanggar UU sehingga perlu adanya ketegasan yang tertuang dalam Perppu. "Perppu itu kan bisa mengandung unsur emergency, emergency-nya apa? Pendapatan negara kurang. Jadi ekspor konsentrat belum dimurnikan jelas pendapatan negara turun, dalam konteks Freeport yang bisa dimurnikan di Gresik itu cuma 40 persen," kata Satya. 

Sementara itu, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot mendesak parlemen untuk bisa segera merampungkan pembahasan soal RUU Minerba. Meski sampai saat ini belum ada kemajuan berarti, Bambang yakin akhir tahun ini pembahasan RUU Minerba bisa rampung. 

Ia mengacu pada pembahasan RUU Panas Bumi yang bisa selesai dibahas hanya dalam 3 bulan. "Kita berharap UU itu selesai akhir tahun ini. Kita fokus pada itu saja," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement