REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Target penerimaan pajak tahun ini berpotensi terancam akibat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty).
Direktur Eksekutif Center for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, Indonesia bisa terjerat utang luar negeri yang besar jika langkah memperluas basis pajak baru gagal dilakukan akibat pembatalan pengampunan pajak. Tidak hanya itu, ekspansi fiskal untuk membiayai pembangunan pun menjadi terhambat karena pemerintah harus memangkas anggaran pembangunan.
"Indonesia bisa terjebak utang luar negeri yang besar jika tax amnesty tidak diloloskan DPR. Ini akan jadi tanggung jawab dan beban moral DPR juga karena mereka turut membahas APBN tiap tahun," jelas Yustinus di Jakarta, Jumat (26/2).
Yustinus menjelaskan, penundaan maupun pembatalan RUU Tax Amnesty akibat tidak disetujui DPR akan membuat kerugian lebih besar ketimbang dampak positifnya. Selain menurunkan kredibilitas pemerintah, animo dan partisipasi wajib pajak pun akan rendah ke depannya.
Menurut Yustinus, apabila tax amnesty gagal dilakukan pemerintah karena tidak disetujui DPR, Indonesia tidak akan bisa menambah basis wajib pajak baru, meskipun era Automatic Exchange of Information (AEoI) diberlakukan pada 2018. Sebab, para wajib pajak akan terus melakukan penghindaran kewajibannya dengan berbagai modus sehingga Indonesia sebagai negara tidak akan dapat menambah penerimaan pajak untuk membiayai pembangunan.
Lebih lanjut Yustinus menjelaskan, era AEoI membutuhkan regulasi yang mendukung, seperti keterbukaan informasi di dalam negeri dari sistem perbankannya dan ketersediaan data dari otoritas pajak berbagai negara di luar negeri terhadap keberadaan aset WNI.
Jika otoritas pajak Indonesia tidak bisa mendapatkan informasi keberadaan aset-aset WNI di luar negeri, otomatis penerimaan pajak tidak akan bertambah, sehingga pembiayaan pembangunan akan mengandalkan utang luar negeri yang akan terus semakin membesar.