REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia (REI) DI Yogyakarta menilai penghimpunan dana tabungan perumahan rakyat untuk masyarakat berpendapatan rendah belum tentu mendorong minat pengembang membangun rumah murah di Yogyakata.
"Meski ada tabungan perumahan rakyat, pengadaan rumah murah bersubsidi, pengembang di Yogyakarta masih harus memertimbangkan komponen lain," kata Ketua DPD REI DI Yogyakarta, Nur Andi Wijayanto, Sabtu (27/2).
Hingga saat ini, pembangunan rumah bersubsidi belum diminati oleh para pengembang di DIY karena hingga kini masih terkendala lamanya perizinan serta tingginya harga tanah.
Karena kendala itu, penyediaan rumah murah oleh para pengembang anggota REI DIY selama ini masih rendah. Berdasarkan data 2012, penyediaan rumah murah sebanyak 250 unit, kemudian pada tahun 2013 menyediakan 450 unit, dan pada tahun 2014 menyediakan 600 unit rumah.
"Sejak 2015 sampai sekarang, kami sama sekali tidak membangun rumah murah bersubsidi," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurutnya untuk dapat membangun kembali perumahan murah bersubsidi di Yogyakarta harus diikuti oleh sistem yang dapat membuat harga lahan terkendali.
"Karena jika tidak, cita-cita untuk menyediakan rumah murah bersubsidi di Yogyakarta akan mendapat tantangan yang tidak mudah," jelasnya.
Menurutnya, hingga kini tren harga tanah di DIY mengalami penaikan rata-rata 15--20 persen per tahun. Hal itu memberatkan pembangunan rumah bersubsidi. Sebab, meski harga tanah memengaruhi 50 persen harga jual rumah, hingga kini masih dibatasi pemerintah dengan harga penjualan maksimal Rp110 juta per unit.
"Namun, kami telah mengusulkan kenaikan harga rumah sederhana ke pemerintah menjadi Rp145 juta," katanya.
Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengurus perizinan di DIY, menurut dia, relatif mahal karena banyak tahapan dengan lama pengurusan antara 14 dan 24 bulan.
"Mulai mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), izin prinsip, hingga izin pengesahan 'site plan' kami harapkan bisa dipercepat menjadi 6--8 bulan," katanya.