REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di masa pertanaman pangan 2016 yang dihantui ancaman banjir, Kementerian Pertanian (Kementan) terus fokus menggenjot produksi. Salah satunya dengan meningkatkan volume subsidi pupuk dari tahun ke tahun.
Subsidi pupuk pada 2008 sekitar Rp 6,7 triliun dan pada 2016 sebesar Rp 37 triliun termasuk diantaranya kurang bayar Rp 7 triliun. Namun, penyaluran subsidi pupuk dikritik karena dianggap menyebabkan distorsi input, biaya fiskal tinggi, distribusi manfaat tidak merata dan menciptakan rent seeking. Ia juga kerap dibarengi motif politik populis, menciptakan ketergantungan petani, dan berdampak negatif terhadap lingkungan.
Menjawab hal tersebut, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Gatot Irianto menegaskan, pemerintah berkomitmen tinggi melakukan pemberantasan terhadap praktik penyelewengan pupuk bersubsidi. Subsidi dinilai layak dipertahankan karena petani masih membutuhkannya.
"Setiap ada yang bermain-main dengan subsidi pupuk, kita tindak tegas dan diberikan sanksi bagi yang melanggar aturan," katanya, Selasa (16/2). Hingga kini lebih dari 30 kasus pengoplos dan pupuk ilegal ditangkap dan diproses hukum.
Pupuk merupakan satu komponen penentu produktivitas pertanian, di samping aspek ketersediaan benih dan air. Tanaman padi tidak dipupuk berdampak produksi menurun sekitar 30-40 persen.
Meskipun kontribusi pupuk terhadap total biaya usahatani sekitar 10-17 persen, kata dia, tetapi pupuk merupakan barang yang sangat dibutuhkan petani. Kelangkaan pupuk berakibat petani resah bahkan menyulut unjuk rasa menuntut kesediaan pupuk.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyatakan, subsidi pupuk tidak mungkin dihapuskan. Pada banyak negara luar pun pemerintah masih mensubsidi petaninya. "Kondisi petani kita sudah menderita sehingga subsidi pupuk mutlak dibutuhkan petani," ujar Winarno.