REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Titik Handayani mengatakan pemerintah harus melindungi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Caranya dengan mendorong perusahaan membayar hak-hak normatif seperti pesangon.
"Pemerintah harus berperan dalam meningkatkan posisi tawar pekerja, termasuk yang berstatus kontrak dan alih daya, yang di-PHK," kata Titik dihubungi di Jakarta, Rabu.
Titik mengatakan program-program bagi usaha kecil dan menengah seperti kredit usaha rakyat (KUR) yang merupakan bagian paket kebijakan ekonomi pemerintah juga harus diefektifkan.
"Pemerintah harus memikirkan solusi untuk menampung limpahan penganggur baru. Program-program yang merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi yang sudah diluncurkan harus diefektifkan," tuturnya.
Menurut Titik, pemerintah bukan pada posisi yang dapat mencegah terjadinya PHK. Pasalnya, potensi PHK yang terjadi lebih disebabkan produk industri kalah bersaing dan juga faktor eksternal seperti penurunan harga minyak.
Titik mengatakan potensi PHK oleh perusahaan-perusahaan multinasional dari Jepang disebabkan penurunan daya saing produk mereka dengan produk-produk dari Tiongkok. Sedangkan perusahaan-perusahaan minyak yang juga dikabarkan akan melakukan PHK karyawan, terpukul oleh penurunan harga minyak mentah dunia.
"Jadi potensi gelombang PHK yang terjadi saat ini tidak berhubungan langsung dengan paket kebijakan ekonomi yang oleh sebagian pihak dinilai gagal. Namun, pemerintah tetap tidak boleh lepas tangan dengan potensi PHK yang mungkin terjadi," katanya.
Baca juga, PHK Ini Sungguh Benar-Benar Ada.