REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Freeport Indonesia tak akan menawarkan 10,64 persen sahamnya kepada pemerintah sebelum ada revisi Peraturan Pemerintah (PP) 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. VP Corporate Communication Freeport Riza Pratama menyebutkan, pihaknya akan tunduk terhadap aturan pemerintah yang berlaku. Namun, di mata Freeport beleid yang ada saat ini belum cukup memberikan kejelasan mengenai mekanisme divestasi.
Riza mengaku, Freeport akan terus menanti janji pemerintah untuk melakukan revisi peraturan khususnya soal divestasi. Demi kepastian investasi, Freeport juga ingin memastikan adanya perpanjangan kontrak karya (KK) untuk operasi kegiatan pertambangan di Papua hingga 2041.
"Komitmen kita kan masih tetap. Kita ikut pemerintah. Di Oktober itu kan 6 poin itu, 30 persen sampai 2019," kata Riza, Jumat (4/12).
Riza mengatakan, kepastian keberlanjutan investasi bagi Freeport sangat penting untuk bisa melakukan proyek lanjutan seperti smelter, pembangunan tambang bawah tanah, termasuk kegiatan divestasi. Polemik divestasi yang tak kunjung kelar ini, menurutnya, bisa berakhir dengan adanya kejelasan mekanisme aturan dan juga kepastian perpanjangan KK. Meski, sebetulnya saat masih berlaku PP 77 Nomor 2014.
"Kan kayak gitu kan ada prosesnya. Kita kan keluarkan saham ke siapa. Kan jual saham nggak kayak jual kacang," kata Riza.
Meski begitu, Riza mengaku hingga saat ini pihaknya masih terus melanjutkan pembicaraan dengan pemerintah terkait rencana divestasi.
Freeport berkewajiban menawarkan sahamnya pada 14 Oktober lalu. Aturan ini tertuang dalam PP Nomor 77 Tahun 2014. Meski begitu, karena alasan perpanjangan kontrak yang mereka anggap belum jelas, Freeport masih mangkir dari kewajiban ini.