REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha migas meminta pemerintah untuk konsisten dalam memberikan kemudahan fiskal di sektor minyak dan gas bumi. Direktur Indonesian Petroleum Association Sammy Hamzah menilai, hingga saat ini tidak ada kebijakan pemerintah terkait intensif fiskal yang tergolong baru.
Sammy mencontohkan, insentif pajak dengan mengurangi pajak eksplorasi atau PBB dinilai bukan hal baru. Di dalam kontrak sebetulnya memang tidak ada klausul mengenai pajak eksplorasi.
"Yang terjadi kan sebenarnya dulu nggak ada, keluar aturan baru diadakan, sekarang ditiadakan lagi. Jadi kembali kepada yang dulu sebenarnya, tidak ada perbaikan," kata Sammy, di Jakarta, Rabu (2/12).
Meski begitu, Sammy juga mengapresiasi beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintah baru baru ini. Salah satunya adalah Peraturan Menteri ESDM nomor 38 tentang percepatan pengusahaan minyak dan gas bumi nonkonvensional.
Dalam beleid itu, pemerintah tidak lagi harus mengganti biaya operasi migas atau yang selama ini dikenal sebagai cost recovery. Sebagai gantinya, pada awal suatu proyek migas berproduksi, sebagian besar hasilnya menjadi bagian investor. Setelah investasinya hampir balik modal, maka bagi hasil untuk Pemerintah semakin besar.
"Permen 38 itu berupa insentif. Tapi yang berkaitan dengan fiskal, itu sebenarnya mengembalikan kepada kontrak yang lama, bukan perbaikan," kata Sammy.
Sammy menilai bahwa apa yang dilakukan pemerintah saat ini sekadar memperbaiki kesalahan yang dibuat pemerintah sebelumnya.
"Yang kita sedang usahakan sekarang justru kita fire fighting, memadamkan api yang nyala. Bukan membangun. Jadi kembali lagi ke masalah pajak eksplorasi, dulu tuh nggak ada," kata dia. (Baca juga: Harga Minyak Tahun Depan Diprediksi Tetap Rendah)