Rabu 04 Nov 2015 19:00 WIB

Keinginan RI Kendalikan Produksi Rokok Terhambat Persoalan Keuangan

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Industri rokok rumahan (ilustrasi)
Foto: Antara/Arief Priyono
Industri rokok rumahan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia masih mengandalkan pendapatan dari industri rokok. Ini juga yang masih jadi ganjalan Indonesia untuk meratifikasi kerangka konvensi pengendalian tembakau internasional (FCTC). 

Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kemeterian Perekonomian Edy Putra Irawady menjelaskan, pendapatan dari cukai rokok meningkat dari Rp 66,3 triliun pada 2010 menjadi Rp 112,5 triliun pada 2014. 95 persen dari total pendapatan cukai sendiri berasal dari rokok, sisanya dari minuman beralkohol.

Pada 2015, pendapatan dari cukai ditargetkan sebesar Rp 139,1 triliun atau 7,9 persen terhadap penerimanaan APBN-P 2015. ''Kita masih tergantung pada barang adiksi ini,'' kata Edy dalam diskusi ekonomi tembakau, Rabu (4/11).

PDB industri rokok ada di lima besar dari 15 industri besar nasional. Penerimaan devisa ekspor tembakau juga meningkat dari 710 juta dolar AS pada 2011 menjadi 1,025 miliar dolar AS pada 2014. ''Ekspor naik dan ada surplus dengan selisih impor,'' kata Edy.

Jika harga tembakau Rp 50 ribu per kilo dengan produksi 920 kilo per hektare, uang sebesar Rp 46,700 juta bisa dihasilkan dari satu hektare lahan tembakau. Ini jelas lebih menggiurkan dari pada investasi ke tanaman padi yang rata-rata produksinya lima ton GKG per hektare atau hanya Rp 25 juta per hektarenya. ''Maka investasi lahan tembakau lebih menggoda,'' ungkap Edy.

Tak heran, Phillip Moris akan mengucurkan 1,9 miliar dolar AS untuk ekspansi di industri rokok Indonesia. ''Indonesia bersama Somalia dan Sudan juga belum menandatangani FCTC karena masih mempertimbangkan aspek sumbangan industri rokok bagi pendapatan negara,'' jelas Edy.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement