Rabu 16 Sep 2015 06:37 WIB

UMKM Kebal Dari Perlambatan Ekonomi

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Esthi Maharani
Usaha kecil menengah/UKM (ilustrasi)
Foto: Antara
Usaha kecil menengah/UKM (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) hampir dipastikan kebal terhadap berbagai kondisi perekonomian nasional dan global. Di kawasan Indonesia Timur, inflasi Bali masih relatif terjaga disebabkan banyaknya pelaku usaha UMKM dalam rantai perekonomian Pulau Dewata.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Bali, Dewi Setyowati mengatakan penyaluran kredit UMKM di Bali tetap tinggi dibandingkan kredit lainnya. Meski demikian, perkembangan penyalurannya mengalami perlambatan dari 14,88 persen year on year (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 13,91 persen yoy pada Juli 2015.

"Penyaluran kredit UMKM tersebut masih didominasi oleh penyaluran kredit menengah mencapai Rp 11,8 triliun pada Juli 2015 atau 47,7 persen dari keseluruhan kredit," kata Dewi di Denpasar, Selasa (15/9).

Secara sektoral, penyaluran kredit UMKM terbesar di Bali masih didominasi sektor perdagangan, hotel, dan restoran mencapai 69 persen pada Juli 2015. Penyaluran kredit di Bali masih didominasi lapangan usaha yang merepresentasikan industri pariwisata, yaitu perdagangan besar dan eceran sebesar 31 persen dan lapangan penyediaan akomodasi makan dan minum sebesar 11 persen.

Peran penting UMKM dalam menyokong perekonomian nasional terlihat dari 57 juta unit usaha yang tersebar di seluruh Indonesia. UMKM mencakup 99,99 persen dari seluruh usaha di dalam negeri.

Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN di Kementerian Luar Negeri, Ina Hagninigtyas Krisnamurthi mengatakan angka ini menyumbang 56 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) serta menyerap 97,30 persen tenaga kerja di Indonesia.

"Pembentukan MEA 2015 merupakan momentum tepat untuk mendorong peningkatan daya saing produk UMKM di Indonesia, baik dari segi kuantitas, maupun kualitas, sehingga bisa menjadi bagian dari mata rantai produksi kawasan," kata Ina.

Pembentukan MEA sudah dimulai sejak sepakatinya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 1992. Salah satu tantangan saat ini, kata Ina adalah mengubah pola pikir yang memandang MEA sebagai ancaan terhadap pengusaha Indonesia. Pengusaha Indonesia sebetulnya bisa menangkap peluang MEA sebagai satu kasempatan untuk lebih maju.

Ada empat pilar MEA, yaitu pasar tunggal dan bisnis produksi tuggal, kawasan berdaya saing, pembangunan ekonomi merata dan berkeadilan, serta ekonomi terintegrasi dengan pasar global.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement