Selasa 25 Aug 2015 15:09 WIB

Industri Tembakau di 'Ujung Tanduk' Akibat Kenaikan Cukai Eksesif

Petani menjemur tembakau
Foto: Narendra Wisnu Karisma/Antara
Petani menjemur tembakau

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Target cukai tembakau tahun 2016 mencapai Rp 148,9 triliun seperti tercantum dalam nota keuangan dan keterangan pemerintah tentang RUU APBN 2016 yang dibacakan di hadapan DPR RI oleh Presiden Joko Widodo, Jumat (14/8) lalu.

Dibandingkan komoditas lain yang dikenakan cukai, produk hasil tembakau adalah sumber utama cukai dengan porsi sebesar 96 persen serta satu-satunya produk yang dihantam kenaikan cukai signifikan.

"Kenaikan target cukai 2016 sebesar 23 persen ini sangat sangat eksesif, dibandingkan dengan kenaikan tahun-tahun sebelumnya yang berada di kisaran 7 sampai sembilan persen. Lagi-lagi, industri tembakau berada di ujung tanduk karena target tersebut ditentukan tanpa mempertimbangkan daya beli konsumen dan dampaknya bagi lapangan kerja yang sangat besar,” kata Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti, Selasa (25/8).

Kenaikan target penerimaan cukai tembakau 2016 merupakan pukulan telak bagi industri tembakau nasional. Kenaikan ini dinilai memberatkan karena kenaikan tersebut mencapai angka 23 persen dibandingkan dengan target cukai 2015 yang tertuang di APBN yang diteken di September 2014, yaitu sebesar Rp 120,6 triliun.

Lebih jauh lagi, telah dilakukan revisi program pemerintah dimana target penerimaan cukai tembakau 2015 didorong naik ke angka Rp 139,1 triliun pada awal 2015, pasca peralihan pemerintahan Jokowi. Sejumlah strategi diluncurkan pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak, khususnya cukai.

Ironisnya, hal ini diluncurkan tanpa memperhatikan kelangsungan industri tembakau nasional jangka panjang. Pasca revisi APBN-P di awal 2015, pemerintah menerbitkan PMK 20/PMK.04/2015 yang berisikan penghapusan fasilitas penundaan pembayaran pita cukai melalui mekanisme pencepatan pembayaran. Adanya ketetapan baru ini memang memungkinkan tambahan pendapatan selama dua bulan untuk masuk ke kas pemerintah, namun kebijakan tersebut kontraproduktif.

Menjadi kontraproduktif mengingat skema ini hanya akan menambah penerimaan dalam tahun 2015. Sedangkan pada tahun-tahun selanjutnya, penerimaan negara dari cukai akan kembali seperti semula.

Muhaimin mengatakan imbas dari kenaikan target cukai yang eksesif, apalagi dibarengi dengan melemahnya daya beli masyarakat, akan langsung dirasakan oleh pabrikan rokok, tenaga kerja serta petani tembakau dan cengkeh. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, ratusan perusahaan rokok gulung tikar dan telah terjadi PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan kecil maupun besar.

"Sekarang, jika pemerintah bersikukuh menaikkan target cukai sebesar 23 persen, maka ini merupakan upaya untuk menghilangkan mata pencaharian jutaan orang yang bergantung pada industri tembakau,” lanjut Muhaimin.

Kenaikan cukai yang eksesif disertai dengan melemahnya daya beli masyarakat akan berimbas pada meningkatnya daya tarik rokok ilegal di pasaran. Hal ini disebabkan karena rokok illegal yang dibanderol jauh lebih murah dibandingkan dengan rokok hasil produksi industri legal. Berdasarkan penelitian Universitas Gadjah Mada pada tahun 2014, peredaran rokok ilegal di Indonesia sudah semakin merajalela.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement