REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) telah menetapkan harga pembelian listrik oleh PT PLN (Persero) sebesar 12 sen dolar AS untuk tegangan menengah sampai 10 mw dan 14,40 sen dolar AS untuk tegangan rendah sampai 250 kw untuk 8 tahun pertama. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri No. 19 tahun 2015.
Untuk tahun ke-9 dan seterusnya sepanjang kontrak berlangsung hingga tahun ke-20, maka harga pembelian listrik oleh PLN untuk tegangan menengah sampai 10 mw sebesar 7,5 sen dolar AS dan untuk tegangan rendah sampai 250 kw sebesar 9 sen dolar AS.
Direktur Jenderal EBTKE Rida Mulyana mengatakan sebelumnya, harga jual listrik yang ditetapkan adalah sekitar Rp 656. Dengan ditetapkannya harga tersebut, pengembang akan menikmati insentif dan benefit yang lebih baik bagi pengembang.
"Mengapa ini mendapat indentif? Karena potensinya masih besar, 75 GW," katanya, Selasa (14/7).
Rida juga mengatakan, penggunaan mata uang dolar AS dalam hal ini ditujukan agar harga pembelian listrik nantinya tidak terdampak terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang (kurs).
"Revisi ini pun karena kita terdepresiasi, jadi tidak lagi menarik. Harga beli memang ditetapkan menggunakan dollar AS, tapi nanti transaksinya tetap menggunakan rupiah," kata Rida.
Sementara itu, Rida juga menjelaskan kendala-kendala yang sudah diidentifikasi dan dipetakan, yaitu masalah keekonomian, komitmen pengembang, dan sinergitas antara pusat dan daerah yang masih belum terbangun. Keekonomian yang dimaksudkan berhubungan dengan tarif dan margin yang akan diperoleh oleh pengembang, sekaligus insentif-insentif yang akan ditetima oleh pengembang.
Sementara masalah komitmen pengembang, Rida menyayangkan banyaknya pengembang-pengembang yang tidak kompeten dan tidak berkomitmen secara penuh terhadap rasio elektrifikasi suatu daerah untuk kemaslahatan masyarakat.
"Kami mencari pengembang yang benar-benar serius membangun tenaga listrik. Tidak melulu pengembang yang mengedepankan benefit atau profit," ujar Rida.
Sedangkan kendala sinergitas pusat dan daerah yang belum terbangun, menurut Rida yang bisa memberikan rekomendasi mengenai tempat pengembangan tenaga listrik adalah daerah. Oleh karena itu, pemegang izin untuk mengembangkan rasio elektrifikasi adalah bupati ataupun gubernur.
Permasalahannya menurut Rida adalah ketika daerah tidak memiliki modal, proyek tersebut bisa dijual dan inilah yang terjadi sejak tahun 1996. Dengan adanya kebijakan seperti itu, tercatat sudah terdapat 256 proyek yang berhenti.
"Kita tidak mungkin intervensi, kita tidak punya kewenangan. Seharusnya, sinerginya adalah bagaimana memanfaatkan momentum ini. Kalau daerah memanfaatkan, maka rasio elektrifikasinya akan naik," lanjut Rida.