REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi Komaidi menilai tidak ada yang salah dengan rencana PT Freeport untuk kembali menanamkan investasi. Yang salah adalah Indonesia karena belum punya cukup kemampuan untuk bisa mengelola sendiri sumber daya alam yang ada di Papua.
Seperti diketahui, Freeport sudah menyiapkan investasi sebesar 18 miliar dolar AS atau sekitar Rp 234 triliun untuk mengembangkan kegiatan pertambangan bawah tanah yang ada di Papua. Selain itu juga untuk investasi dalam pendirian smelter di Gresik.
Secara pribadi, ungkap Komaidi, dirinya berharap Indonesia bisa mengelola sendiri penambangan emas dan tembaga di Papua. Tapi, Indonesia harus realistis bahwa memang belum sanggup mengelola sendiri kegiatan yang telah dilakukan Freeport.
"Modal kita terbatas, teknologi tidak mumpuni, dan kualitas sumber daya manusia masih kurang. Jadi, mau bagaimana lagi," kata Komaidi kepada Republika, Kamis (2/7).
Lagipula, ujar dia, Freeport dinilai tidak menyalahi aturan. Sebab, pemerintah sudah bersedia memperpanjang kontrak Freeport dengan mengubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus.
"Kecuali kalau belum direstui untuk diperpanjang, kemudian mereka melakukan investasi agar diperpanjang, itu yang harus diwaspadai," ujarnya.
Selain itu, Komaidi melihat pemerintah akan merestui penambahan investasi Freeport untuk menambah penerimaan negara. Apalagi, penerimaan pajak saat ini belum sesuai seperti yang diharapkan dan hampir dipastikan meleset dari target.
"Dengan investasi itu, akan ada tambahan penerimaan dari pajak maupun non pajak. Saya kira ini juga salah satu tujuannya dan bagian dari kesepakatan perpanjangan kontrak Freeport," kata Komaidi.