Selasa 02 Jun 2015 14:30 WIB

Investor Khawatir Jika Harga BBM Diubah Setiap Tiga Bulan Sekali

Rep: Satria Kartika Yudha/ Red: Satya Festiani
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Grogol, Jakarta, Selasa (28/4). (Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Grogol, Jakarta, Selasa (28/4). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom PT Bank BCA David Sumual mengingatkan pemerintah agar tidak merealisasikan rencana perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) setiap tiga bulan sekali. Kebijakan tersebut dinilai dapat meningkatkan risiko fiskal sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi investor untuk menanamkam modalnya di Indonesia.

Pemerintah, ujar David, seharusnya dapat menjaga momentum setelah naiknya outlook rating dari stabil menjadi positif yang baru saja diberikan lembaga pemeringkat internasional Standard&Poor's (S&P). Melalui perbaikan outlook ini, ada kemungkinan Indonesia bakal mendapatkan rating investment grade atau layak investasi dalam 12 bulan ke depan.

"Konsistensi kebijakan ini menjadi salah satu persoalan kekhawatiran banyak investor," kata David kepada Republika, Selasa (2/6).

S&P memperbaiki outlook rating tersebut karena menilai risiko fiskal Indonesia menurun setelah adanya pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif. Risiko fiskal semakin berkurang karena harga BBM ditetapkan dua minggu sekali walaupun akhirnya kembali diperpanjang menjadi setiap bulan. Dan sekarang direncanakan per tiga bulan sekali.

Menurut David, semakin sering harga BBM diubah berdasarkan fluktuasi harga minyak, maka akan semakin baik. Tekanan inflasi akan lebih kecil.

"Kalau kelamaan ditunda, dampaknya akan banyak spekulan. Harga BBM pun naiknya akan sangat tinggi sekali," ujar dia.

Risiko fiskal juga bakal meningkat karena nantinya pemerintah akan menanggung kerugian PT Pertamina (persero) yang harus menjual harga BBM lebih murah dari harga keekonomian apabila harga minyak dunia naik tapi Pertamina belum boleh menaikkan harga.

David meyakini kebijakan ini akan sangat mempengaruhi rating. Sekitar empat tahun lalu, sebut dia, S&P sebenarnya pernah memberikan outlook positif untuk Indonesia. Namun direvisi menurun menjadi stabil karena pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan kebijakannya.

Saat ini, hanya S&P yang belum memberikan rating investment grade. Sementara lembaga pemeringkat utang internasional lainnya yakni Fitch dan Moody's sudah lebih dulu memberikannya.

Padahal, Indonesia akan mendapatkan manfaat besar apabila S&P telah memberikan rating investment grade. Sebab, banyak lembaga investasi di dunia seperti asuransi dan dana pensiun yang biasa berinvestasi di portofolio, mensyaratkan untuk melakukan investasi kepada suatu negara yang memiliki rating investment grade dari ketiga lembaga tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement