Sabtu 09 May 2015 03:20 WIB

Ekonomi Indonesia Stabil, tapi Tetap Diwaspadai Krisis

Rep: c87/ Red: Karta Raharja Ucu
  Petugas menghitung uang pecahan rupiah di layanan nasabah Bank BNI, Jakarta, Jumat (13/3).
Foto: Antara
Petugas menghitung uang pecahan rupiah di layanan nasabah Bank BNI, Jakarta, Jumat (13/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Pengamat EKonomi dari Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistyaningsih mengatakan, stabilitas ekonomi pada kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan krisis 1997-1998 dan 2008 saat Indonesia terkena efek krisis AS.

Namun dia menilai ada beberapa hal yang perlu diwaspadai. “Ada stabilitas tapi perlu diwaspadai beberapa risiko yang muncul, kalau kita lihat potensi sumbernya, sifatnya domestik dan eksternal,” jelas Lana dalam peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan No 24, di kantor pusat Bank Indonesia Jakarta, Jumat (8/5).  

Menurutnya, faktor domestik yakni masih besarnya impor, adanya repatriasi aset, utang luar negeri (ULN), serta permintaan dolar AS saat musim liburan. Sedangkan tantangan global, yakni risiko besar terkait kenaikan suku bunga The Fed yang masih belum jelas waktunya. Hal itu membuat dana asing di emerging market berpotensi keluar. Selain itu, pelambatan ekonomi Cina serta potensi kenaikan harga komoditas metal.

Efek kombinasi domestik dan ekstermal, kata Lana, akan membeirkan volatilitas dan potensi risiko pertumbuhan ekonomi serta konflik perbaikan transaksi perjalan. “Kuncinya di BI rate bagaimana mencari yang optimal antara keduanya. Kita tidak bisa mendapatkan keduanya bagus. Kita maunya perbaikan ekonomi tapi transaksi berjalan di bawah tiga persen dari PDB,” imbuh Lana.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan bisa tumbuh di kisaran 5,0-5,2 persen. Angka tersebut akan lebih baik dibandingkan Desember 2014 sebesar 5,02 persen. Menurutnya, harapan pertumbuhan ekonomi 5,0-5,2 persen masih ada. Sebab, beberapa negara lain juga mengalami perlambatan ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement