Ahad 03 May 2015 16:30 WIB

Batasi Impor, Bea Masuk Baja Naik 15 Persen

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Satya Festiani
Pipa baja yang akan diekspor terlihat di Pelabuhan Lianyungang, Provinsi Jiangsu.
Foto: Reuters/Stringer/Files
Pipa baja yang akan diekspor terlihat di Pelabuhan Lianyungang, Provinsi Jiangsu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia telah sepakat menaikkan bea impor baja untuk tarif Most Favoured Nation (MFN) sebesar 15 persen. Kenaikan ini bertujuan untuk melindungi industri baja dalam negeri dari gempuran impor.

Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan, banjirnya baja impor membuat utilitas produksi perusahaan baja di Tanah Air merosot hingga 40 persen. Dengan menaikkan tarif bea masuk ini, diharapkan dapat meningkatkan utilisasi produk baja nasional dan memberikan nafas lega kepada para pengusaha baja di dalam negeri.

"Ibarat obat, ini baru paracetamolnya saja, ada upaya-upaya lain yang terus kita lakukan untuk meningkatkan utilisasi baja di dalam negeri," kata Harjanto di Jakarta, Ahad (3/5).

Meski tarif bea masuk telah dinaikkan, impor baja tidak bisa langsung dihilangkan. Pasalnya, masih ada negara-negara eksportir baja yang tidak termasuk dalam MFN, dan memiliki Free Trade Agreement (FTA) dengan Indonesia. Menurut Harjanto, porsi impor antara negara MFN dan non MFN besarnya sama yakni masing-masing 50 persen. Negara yang termasuk MFN dan mengekspor baja ke Indonesia diantaranya India, Eropa Timur, dan Amerika Latin. Sedangkan negara non MFN yakni Jepang, Cina, dan Korea.

Harjanto mengimbau kepada industri baja di hulu maupun hilir agar tidak memanfaatkan kenaikan bea masuk ini, untuk menaikkan harga setinggi-tingginya. Sehingga biaya pembangunan menjadi mahal dan proyek pembangunan infrastruktur tidak dapat berjalan dengan baik.

"Kami mendorong perusahaan baja untuk meningkatkan utilisasi sehingga daya saing juga bisa meningkat," kata Harjanto.

Harjanto tidak memungkiri bahwa ada beberapa hal mendasar kebutuhan sektor manufaktur yang masih sulit disesuaikan, seperti bahan baku dan energi. Menurutnya, Kementerian Perindustrian tetap berupaya untuk menyampaikan permasalahan tersebut kepada stakeholder pemerintah agar bisa disesuaikan, sehingga industri manufaktur dalam negeri bisa berdaya saing dengan negara lain.

Pada dasarnya, industri manufaktur harus berkembang dan berdampingan dari hulu ke hilir. Akan tetapi, dengan kondisi keuangan negara yang sulit, pemerintah mencoba mencari terobosan sementara agar industri baja hulu bisa survive dan utilisasinya meningkat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement